Opini

Diplomasi Ala Nasaruddin Umar

Diplomasi juga dapat lahir dari ruang-ruang keagamaan, di mana nilai moral dan etika menjadi dasar penyelesaian perbedaan secara damai.

|
Editor: Nurhadi Hasbi
Istimewa
MENTERI AGAMA - Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A, Menteri Agama Republik Indonesia 

Oleh: Muhammad Aras Prabowo
(Intelektual Muda NU & Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor)

Diplomasi bukan semata urusan negosiasi formal di meja bundar atau penyusunan frasa diplomatik di forum internasional seperti PBB. Ia bisa dimaknai sebagai upaya membangun saling pengertian melalui komunikasi terbuka dan empatik antarpihak.

Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, diplomasi menuntut pendekatan lintas budaya dan agama, serta kesadaran menjaga harmoni sosial tanpa mengorbankan prinsip-prinsip penting.

Diplomasi juga dapat lahir dari ruang-ruang keagamaan, di mana nilai moral dan etika menjadi dasar penyelesaian perbedaan secara damai.

Diplomasi Ulama Moderat

Diplomasi ala Nasaruddin Umar adalah model pendekatan khas seorang cendekiawan, ulama, Menteri Agama RI, dan Imam Besar Masjid Istiqlal.

Pendekatan ini memanfaatkan otoritas moral dan keagamaan untuk mendorong dialog, meredakan ketegangan sosial, serta memperkuat kerja sama lintas iman.

Alih-alih mengedepankan tekanan atau retorika konfrontatif, model diplomasi ini menekankan pesan keagamaan yang moderat, ajakan pada kerja sama kemanusiaan, dan pembukaan ruang diskusi yang inklusif.

Di tangan Nasaruddin Umar, agama diposisikan sebagai sarana mediasi dan solusi atas problem sosial, bukan sebagai sumber konflik baru.

Diplomasi Spiritual

Hal pertama yang menonjol dari Nasaruddin Umar adalah diplomasi spiritual. Ia tidak sekadar berdakwah di ruang ibadah, melainkan menghidupkan ruang batin masyarakat.

Diplomasi spiritual yang ia bangun bukan ceramah monolog, tetapi dialog yang menenteramkan.

Ia konsisten mengusung tasawuf sebagai jembatan spiritual umat. Di bawah kepemimpinannya, pesan-pesan dari Masjid Istiqlal menegaskan bahwa tempat ibadah terbesar di Asia Tenggara itu bukan panggung politik praktis atau provokasi, melainkan rumah bersama yang merangkul semua.

Dalam konteks Indonesia yang rentan terhadap politisasi agama, diplomasi spiritual ini menjadi oase penting. Ia menawarkan wajah Islam Indonesia yang lembut, inklusif, dan mendalam.

Diplomasi Kemanusiaan

Halaman
123
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved