Opini

Diplomasi Ala Nasaruddin Umar

Diplomasi juga dapat lahir dari ruang-ruang keagamaan, di mana nilai moral dan etika menjadi dasar penyelesaian perbedaan secara damai.

|
Editor: Nurhadi Hasbi
Istimewa
MENTERI AGAMA - Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A, Menteri Agama Republik Indonesia 

Diplomasi Nasaruddin Umar juga kental dengan nilai kemanusiaan. Ketika berbicara tentang umat, ia tidak membatasi pada satu golongan atau agama. Perspektifnya melampaui sekat-sekat etnis, agama, bahkan negara.

Misalnya, saat isu pengungsi Rohingya mencuat, ia mendorong empati, bukan sekadar simpati. Ia juga menyerukan agar umat Islam Indonesia menjadi teladan dalam mengelola keberagaman dan kemajemukan.

Diplomasi kemanusiaannya hadir dalam berbagai inisiatif: dialog lintas iman, bantuan bagi korban bencana, hingga kampanye kesadaran bahwa agama tak boleh menjadi pembenaran atas diskriminasi.

Nilai utama dalam diplomasi ini adalah keadilan dan kasih sayang. Bagi Nasaruddin Umar, agama bukan tembok pemisah, melainkan jembatan untuk saling menguatkan.

Diplomasi Lintas Agama

Ciri khas lainnya dari Nasaruddin Umar adalah diplomasi lintas agama. Ia tak lelah membangun dialog dan persahabatan dengan tokoh-tokoh agama lain. Ia sadar betul bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk.

Di Masjid Istiqlal, ia kerap mengundang pemuka agama lain untuk berdiskusi dan berbagi gagasan.

Ia bahkan menjalin persahabatan erat dengan banyak pemimpin gereja. Diplomasi ini tidak berhenti di seremoni, tetapi menjadi agenda serius dan berkesinambungan.

Di tengah polarisasi sosial saat ini, pendekatan ini memberi pelajaran penting: dialog adalah kebutuhan.

Ia menunjukkan bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan peluang untuk saling mengenal lebih baik.

Diplomasi Pendidikan

Sebagai akademisi, Nasaruddin Umar menyadari bahwa transformasi masyarakat hanya mungkin tercapai lewat pendidikan. Ia mengusung diplomasi pendidikan sebagai jalan perubahan.

Pernah menjadi dosen, menulis puluhan buku, serta aktif di berbagai forum internasional, ia memposisikan Masjid Istiqlal sebagai pusat literasi keagamaan yang inklusif dan modern.

Masjid, menurutnya, bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga ruang belajar—tempat tumbuhnya nalar kritis, toleran, dan beradab.

Isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan perdamaian menjadi bagian dari diskursus keagamaan yang ia bawa ke ruang publik. Ini adalah bentuk dakwah yang membebaskan dari sempitnya pemahaman keagamaan ekstrem.

Halaman
123
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved