Opini
KAPAN Sulawesi Barat Bisa Lepas dari Ketergantungan Fiskal?
Ketergantungan ini bukan hanya melemahkan kapasitas fiskal daerah, tetapi juga membatasi ruang gerak dalam menentukan arah pembangunan
Oleh: Dr. Wahyu Maulid Adha
Akademisi Unsulbar/ LE DJPb Sulawesi Barat
TRIBUN-SULBAR.COM - Sulawesi Barat telah dua dekade berdiri sebagai provinsi otonom, namun hingga kini masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kemandirian fiskal.
Lebih dari 85 persen struktur pendapatan daerah masih bertumpu pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Ketergantungan ini bukan hanya melemahkan kapasitas fiskal daerah, tetapi juga membatasi ruang gerak dalam menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Dalam konteks otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi indikator penting yang mencerminkan tingkat kemandirian fiskal suatu wilayah.
Hal ini selaras dengan Teori Desentralisasi Fiskal yang dikemukakan oleh para ekonom seperti Richard Musgrave dan Wallace Oates. Menurut teori ini, pemberian kewenangan fiskal kepada daerah akan menciptakan efisiensi pelayanan publik karena pemerintah lokal lebih memahami kebutuhan warganya.
Namun, hal ini hanya bisa tercapai jika daerah memiliki kapasitas pendapatan yang memadai yang dalam hal ini, diwakili oleh kekuatan PAD.
Teori Kemandirian Fiskal menegaskan bahwa ketergantungan tinggi terhadap dana transfer pusat menunjukkan lemahnya daya fiskal daerah.
Ketika lebih dari 85 persen pendapatan daerah seperti di Sulawesi Barat masih bergantung pada pusat, maka ruang gerak pembangunan sangat terbatas.
Daerah menjadi rentan terhadap perubahan kebijakan nasional, dan kehilangan fleksibilitas dalam menentukan arah pembangunan sendiri. Berdasarkan laporan Alco Regional DJPb Sulawesi Barat, hingga April 2025, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Barat tercatat sebesar Rp242,88 miliar.
Meskipun angkanya meningkat signifikan, tumbuh 147,43 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, namun secara komposisi PAD hanya menyumbang 14 persen dari total pendapatan daerah. Sisanya, sebesar 92,44 persen, masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Ketergantungan fiskal seperti ini mencerminkan bahwa kapasitas ekonomi lokal belum sepenuhnya diberdayakan sebagai sumber pendanaan pembangunan daerah.
Ketika sebagian besar anggaran daerah bergantung pada pusat, maka setiap perubahan kebijakan nasional, seperti penyesuaian Dana Alokasi Khusus atau penghematan belanja Kementerian/Lembaga, akan langsung berdampak ke daerah. Belanja Pemerintah Pusat (BPP) di Sulbar misalnya, mengalami penurunan 35,81 persen hingga April 2025 dibanding tahun sebelumnya.
Ini mempersempit ruang fiskal untuk pembangunan dan membuat daerah sulit bergerak cepat merespons kebutuhan masyarakat, terutama dalam infrastruktur dasar, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Upaya untuk meningkatkan PAD sebenarnya telah dimulai. Pemerintah Provinsi Sulbar menjalin kesepakatan dengan 16 perusahaan sawit untuk meningkatkan kontribusi pajaknya.
Salah satu hasil konkritnya adalah naiknya potensi penerimaan dari sektor pajak air permukaan dan galian C, dari sekitar Rp300 juta menjadi Rp12 miliar per tahun.
Ini bukan sekadar kenaikan nominal, tapi juga menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha bisa menghasilkan kebijakan fiskal yang adil dan berkelanjutan.
Namun, sektor sawit bukan satu-satunya potensi Sulbar. Pemda perlu lebih aktif memetakan dan mengklasifikasi berbagai sektor usaha.
Sektor pertambangan, perikanan, pariwisata lokal, hingga jasa transportasi dan logistik adalah potensi yang masih belum tergarap optimal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.