Opini
Negara Berhemat dengan Efisiensi Anggaran Potensi Memangkas Kualitas Pendidikan
penghematan anggaran sering kali berdampak pada sektor pendidikan, yang dapat mengancam kualitas layanan pendidikan
Oleh. Abdul Rahman (Dosen Ilmu Hukum STAIN Majene)
TRIBUN-SULBAR.COM - Hak atas pendidikan merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi di Indonesia. Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Pasal 31 Ayat (4) menegaskan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Namun, dalam praktiknya, meskipun alokasi anggaran pendidikan telah memenuhi standar minimal konstitusional, efisiensi dan efektivitas penggunaannya masih menjadi perdebatan.
Selain itu, kebijakan penghematan anggaran sering kali berdampak pada sektor pendidikan, yang dapat mengancam kualitas layanan pendidikan serta aksesibilitasnya bagi masyarakat kurang mampu.
Dinamika Anggaran Pendidikan di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan tren peningkatan.
Pada tahun 2024, anggaran pendidikan mencapai Rp665,02 triliun, atau 20 persen dari total belanja negara.
Peningkatan ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam memenuhi amanat konstitusi terkait pendanaan pendidikan.
Namun, pada tahun 2025, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan efisiensi anggaran melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD.
Kebijakan ini menargetkan penghematan sebesar Rp306,69 triliun, dengan rincian Rp256,1 triliun dari belanja kementerian/lembaga dan Rp50,6 triliun dari transfer ke daerah.
Dampak dari kebijakan ini juga dirasakan di sektor pendidikan.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp8,03 triliun dari alokasi awal Rp33,54 triliun, sehingga anggarannya menyusut menjadi Rp25,51 triliun.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek) juga harus berhemat hingga Rp14 triliun.
Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) pun terkena dampak, dengan pemotongan sebesar 9 persen, dari pagu awal Rp14,698 triliun menjadi Rp13,387 triliun.
Perspektif Hukum Tata Negara
Dari perspektif hukum tata negara, kebijakan penghematan yang berdampak pada pendidikan dapat berpotensi bertentangan dengan amanat konstitusi yang menekankan kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan yang layak bagi seluruh warga negara.
Menurut teori negara kesejahteraan (welfare state), negara bertanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan sosial, termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Dalam konteks kebijakan publik, pendidikan merupakan barang publik (public goods) yang harus disediakan oleh negara.
Margaret E. Goertz menekankan bahwa kebijakan pendidikan harus berfokus pada efisiensi dan efektivitas anggaran untuk mencapai tujuan pembangunan pendidikan.
Kebijakan penghematan yang tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan dan meningkatkan angka putus sekolah, terutama bagi kelompok masyarakat miskin.
Solusi untuk Menjaga Keseimbangan Hak Pendidikan dan Kebijakan Penghematan
Untuk mengatasi dilema antara hak pendidikan dan kebijakan penghematan, beberapa langkah solutif dapat dipertimbangkan:
1. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan serta memastikan akuntabilitas penggunaan dana.
Hal ini dapat dilakukan melalui pengawasan ketat, pelibatan masyarakat dalam evaluasi kebijakan, serta penerapan teknologi digital dalam sistem pencatatan dan pelaporan anggaran.
2. Optimalisasi Penggunaan Anggaran
Fokus utama harus diberikan pada program-program yang memiliki dampak langsung terhadap peningkatan kualitas pendidikan, seperti pelatihan guru, penyediaan sarana dan prasarana, serta bantuan bagi siswa kurang mampu.
Efisiensi harus dilakukan pada belanja non-esensial, seperti perjalanan dinas dan pengadaan alat tulis kantor, tanpa mengorbankan kebutuhan pendidikan.
3. Kolaborasi dengan Sektor Swasta
Pemerintah dapat mendorong kemitraan dengan sektor swasta dalam penyediaan fasilitas pendidikan dan program beasiswa. Melalui skema corporate social responsibility (CSR), sektor swasta dapat berkontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan tanpa membebani anggaran negara.
4. Evaluasi Kebijakan Penghematan
Sebelum menerapkan kebijakan penghematan, pemerintah harus melakukan analisis mendalam terhadap dampaknya pada sektor pendidikan.
Jika memangkas anggaran pendidikan justru berpotensi merugikan masa depan bangsa, maka diperlukan strategi lain untuk menyeimbangkan keuangan negara tanpa mengorbankan hak fundamental warga negara.
5. Pengawasan dan Evaluasi Berkala
Mekanisme pengawasan dan evaluasi harus diperkuat untuk memastikan bahwa anggaran pendidikan yang tersedia digunakan secara efektif dan tepat sasaran.
Keterlibatan lembaga independen dan organisasi masyarakat sipil dalam audit anggaran pendidikan dapat membantu memastikan kebijakan yang lebih transparan dan akuntabel.
Kesimpulan
Hak atas pendidikan merupakan hak konstitusional yang harus ditunaikan oleh negara karena dijamin konstitusi.
Kebijakan penghematan yang mengurangi alokasi anggaran pendidikan harus diimbangi dengan strategi yang memastikan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas dan aksesibilitas pendidikan.
Dengan menerapkan solusi yang tepat, hak atas pendidikan dapat tetap terjamin meskipun terdapat kebijakan efisiensi anggaran. Pendidikan yang berkualitas akan menentukan masa depan bangsa, sehingga alokasi anggaran pendidikan harus dikelola dengan bijak demi mewujudkan tujuan pembangunan nasional. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.