Konflik Rempang

Diteror hingga Diultimatum, Rakyat Rempang Berani Mati Pertahankan Tanah, Menteri Hadi Beri Solusi

Warga Rempang bersikukuh enggan tinggalkan tanah leluhur, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjono janjikan solusi.

Editor: Via Tribun
TribunBatam.id/Roma Uly Sianturi
Ilustrasi. Massa Pulau Rempang mendatangi kantor BP Batam, Rabu (23/8/2023). Warga Rempang nyatakan siap terkubur demi mempertahankan tanah leluhur, menteri ATR/BPN Hadi Tjahjono beri solusi. 

TRIBUN-SULBAR.COM - Polemik antara masyarakat dengan pemerintah di Pulau Rempang, Batam masih terus menjadi sorotan.

Kali ini, pemerintah memberi tenggat waktu pada warga untuk mengosongkan pulau tersebut hingga batas waktu Kamis (28/9/2023).

Hal ini diumumkan setelah warga ramai melakukan protes dan menolak relokasi untuk proyek strategis nasional berupa pembangunan kawasan Rempang Eco City.

Baca juga: Rakyat Rempang Dipaksa Kosongkan Pulau hingga 28 September, Viral Panglima Pajaji Janji akan Datang

Untuk mengatasi konflik berkepanjangan, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hadi Tjahjanto menjanjikan solusi untuk warga.

Diketahui, ultimatum ke warga diberikan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dengan pihak investor.

Pihak investor menginginkan agar di tanggal tersebut, lahan yang mereka perlukan sudah rampung.

Baca juga: Murka Panglima TNI Viral Komando Tentara Piting Warga Rempang, Panglima Pajaji Sebut Penjajahan Baru

Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat menemui warga Pulau Rempang, Batam, Sabtu (16/9/2023).
Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat menemui warga Pulau Rempang, Batam, Sabtu (16/9/2023). (KOMPAS.COM/HADI MAULANA)

Menanggapi ultimatum itu, Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi, mengatakan akan mempertahankan marwah kampung-kampung mereka terlepas dari apa pun yang dilakukan pemerintah.

Sebab kampung-kampung itu didirikan oleh nenek moyang mereka sejak 1843.

“Kami tidak akan mau pindah meskipun kami terkubur di situ. Karena dengan cara apa pun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaganya,” kata Suardi menanggapi pertanyaan BBC News Indonesia mengenai tenggat waktu yang diberikan pemerintah, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (12/9/2023), dikutip dari Tribunnews.com.

Suardi kemudian mempertanyakan klaim BP Batam yang menyebut bahwa sudah ada warga yang setuju dan menerima tawaran ganti rugi rumah.

“Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan,” kata dia.

Menurut Suardi, masyarakat dari 16 kampung tua justru menitipkan perjuangan kepada dirinya untuk mempertahankan lahan agar mereka tidak direlokasi.

Suardi memastikan sikap masyarakat tidak akan berubah walaupun kemungkinan buruk terjadi.

“Jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah, kami sudah ikhlas, karena itu akan jadi catatan sejarah buat kami bangsa Melayu yang berada di Pulau Rempang,” katanya.

Eskalasi situasi selama sepekan terakhir, menurut Suardi, membuat masyarakat ketakutan bahkan trauma pasca-penembakan gas air mata yang terjadi hingga di sekolah-sekolah pada 7 September.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved