Kolom

Mengurai Waktu

Waktu tidaklah cukup dipahami sebagai perputaran jam sehari semalam. Atau dari bulan ke bulan. Maupun dari tahun ke tahun.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok pribadi
Nur Salim Ismail, Cendikiawan Muda Sulbar dan Ketua LDNU Sulbar 

Oleh: Nur Salim Ismail

Kemajuan zaman ditandai dengan makin cepatnya pergerakan manusia melaju memburu waktu.

Semakin banyak hasil yang dituai dalam waktu tertentu, menunjukkan sebuah kelas profesionalisme seseorang.

Sebaliknya, gerakan yang terbilang melambat menunjukkan potret ketertinggalan merespon zaman.

Pandangan seputar waktu telah lama menjadi perenungan para filosof dari berbagai belahan bumi.

Waktu tidaklah cukup dipahami sebagai perputaran jam sehari semalam. Atau dari bulan ke bulan. Maupun dari tahun ke tahun.

Jika hari ini, waktu ibarat alat ukur kecepatan, maka peradaban kehidupan manusia akan diliputi oleh ikatan-ikatan kesibukan dengan setumpuk target serta capaian yang telah lebih awal digariskan.

Di kalangan filosof, waktu diurai secara mendalam. Ada waktu subjektif, adapula waktu objektif. Waktu subjektif, berkaitan dengan ruang terdalam dari dimensi kehidupan umat manusia.

Waktu subjektif tidak terikat oleh hitungan jam, hari, bulan dan tahun. Waktu subjektif memiliki ukuran kenyamanan tentang sejauh mana anda menikmati sebuah momentum.

Sementara, waktu objektif adalah putaran waktu yang lazim dipahami. Di sini, manusia terikat oleh perputaran waktu. Siapa yang tidak mawas diri dengan perjalanan waktu objektif, maka ia akan tertinggal bahkan tergilas.

Pemilahan waktu antara subjektif dan objektif ini bukan pepesan kosong. Para filosof menantang dua sensasi yang dirasakan dalam satu hitungan waktu yang sama, namun dengan kasus berbeda.

Sepasang kekasih yang saling bercinta dalam durasi satu jam, tentu sangat berbeda dengan seseorang yang berburu waktu mengejar jadwal penerbangan di bandara.

Pada mereka yang becinta, satu jam adalah saat paling nikmat menjalani kehidupan. Sementara satu jam berburu dengan waktu mengejar jadwal penerbangan memiliki sensasi keterikatan dan keterpaksaaan.

Sensasi menjalani perputaran waktu pada akhirnya menjadi sebuah perenungan tentang apa sesungguhnya yang hendak diraih oleh manusia dalam kehidupannya.

Apakah mesti terjebak dalam perburuan waktu objektif semata. Ataukah sesekali ia beralih pada dimensi waktu subjektif.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Masihkah Pancasila Sakti?

 

LUKA DI BUMI, SUARA DARI RERUNTUHAN

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved