Dongeng Anak

Dongeng Anak - Kisah Samba Paria Gadis Cantik yang Kalahkan Raja yang Kejam

Samba` Paria adalah seorang gadis cantik jelita yang tinggal bersama adiknya di sebuah rumah panggung di tengah hutan di daerah Mandar, Sulawesi Barat

Editor: Ilham Mulyawan
https://labbineka.kemdikbud.go.id/
Ilustrasi Cerita Samba Paria 

Ketika berburu, raja selalu diiringi
beberapa anjing pemburu yang terlatih dan
pasukan pengawal.

Raja menggunakan anak panah untuk
membidik dan melumpuhkan hewan buruannya.
Beberapa hewan buruan yang diperoleh di
tengah hutan biasanya oleh raja langsung
dimasak dengan cara membakar di unggunan
api, kemudian disantap beramai-ramai dengan
pasukan pengawal.

Sebagian hewan buruan itu
dibawa pulang ke istana untuk disantap oleh
keluarga raja.

Rakyat biasanya menghindar begitu
mengetahui rombongan raja sedang bergerak
ketakutan dengan tingkah raja yang sewenangwenang, yang acap kali memerintahkan pasukan
pengawalnya untuk menculik gadis cantik yang
ditemuinya dalam perjalanan.

Bukan hanya gadis cantik yang menjadi incaran sang raja
untuk dijadikan permaisuri, harta kekayaan
rakyatnya juga menjadi incarannya.

Ia tidak segan-segan memerintahkan pasukannya untuk
menyita dan merampas warganya yang ketahuan
mengenakan emas perhiasan.

“Namun, sampai kapan kita hidup menderita begini gara-gara keserakahan kerajaan?” Sang istri hanya terdiam dengan pandang mata kosong.

Sementara itu, suatu malam sang raja bermimpi menemukan bunga yang harum
semerbak di belantara tempat ia biasa berburu.

Namun, setelah terbangun dari mimpinya sang
raja tidak dapat mengingat lagi di manakah
letak bunga yang harum semerbak itu dalam mimpinya.

Ia pun penasaran dengan makna
dan isyarat mimpinya itu.

“Pertanda baikkah
itu atau pertanda buruk?” tanya sang raja
dalam hatinya.

Esok harinya sang raja memanggil juru
nujum istana untuk menanyakan makna
mimpinya.

“Apakah isyarat mimpiku, Paman?
Aku bermimpi menemukan bunga yang harum
semerbak di hutan belantara.”

“Itu artinya Paduka Raja akan
mendapatkan permaisuri baru di rimba
belantara.

Permaisuri Paduka yang baru masih
muda belia dan cantik jelita,” kata juru nujum
istana menjelaskan.

“Begitukah?” tanya sang raja dengan wajah
berbunga-bunga.

“Ya, tetapi Paduka harus berhati-hati
menyunting bunga yang satu ini. Karena selain
wanginya harum semerbak, bunga yang satu ini
juga mengandung tuba yang berguna sebagai
senjata yang akan selalu melindungi dirinya.”

“Maksudmu?”

“Ia seorang gadis jelita yang cerdas.
Kecerdasannya akan mampu mengakhiri
apapun yang menyakitinya.”

“Bicaramu bertele-tele, Paman! Aku hanya
ingin memastikan, benarkah calon permaisuriku
saat ini berada di rimba belantara?”

“Benar, Paduka,” sahut juru nujum istana
dengan wajah sedikit cemas, takut kena
damprat sang raja.

Sejak saat itu sang raja makin sering
berburu ke hutan. Hampir tiap hari ia selalu
memerintahkan pasukan kerajaan untuk
mengawalnya berburu di hutan, lengkap diiringi
beberapa anjing pemburu.

Rakyat biasa tidak ada yang berani
merambah memasuki wilayah hutan karena
sang raja telah menitahkan hutan sebagai
wilayah kekuasaan istana.

Untuk memungut ranting-ranting kayu di hutan risikonya sangat
besar jika sampai ketahuan tentara kerajaan yang sering melakukan patroli. Hukuman bagi
rakyat yang tertangkap basah memasuki wilayah
hutan adalah kerja paksa membersihkan istana
tanpa dibayar.

Sebenarnya hati sebagian besar
tentara kerajaan merasa pedih ketika harus
melaksanakan perintah raja yang bengis dan
semena-mena itu.

Mereka sadar bahwa di
antara rakyat itu adalah kerabat mereka juga.

Namun, tentara kerajaan itu tak berdaya
karena mereka merasa digaji oleh istana.

Jika dipecat sebagai tentara kerajaan, mereka akan
kehilangan nafkah sehingga tidak mungkin lagi
menghidupi keluarga mereka.

Sang raja pun dikelilingi oleh pasukan
mata-mata, yang bertugas memata-matai
tentara kerajaan.

Tentara kerajaan yang tidak
melaksanakan perintah raja akan dilaporkan
kepadasang raja dan akan mendapatkan
hukuman.

Pasukan mata-mata itulah yang akan
menjatuhkan hukuman dengan bengis kepada tentara kerajaan yang tidak menjalankan
perintah raja.

Banyak juga di antara pasukan
mata-mata yang mencari-cari kesalahan demi
mencari muka kepada sang raja.

Lama-kelamaan sebagian besar tentara
kerajaan merasa hanya sekadar boneka atau
robot yang dikomando dengan iming-iming
uang.

Mereka merasa seperti dipaksa untuk
melepas hati nurani mereka, dipaksa untuk
berlaku zalim kepada saudara-saudara mereka
sendiri agar sang raja tetap di takhtanya.

“Hidup macam apa ini?” keluh seorang
tentara kerajaan suatu malam kepada rekannya
di barak.

“Kita seperti menjual diri.” Rekan tentara
kerajaan itu menimpali.

“Menjual diri dengan harga yang sangat
murah. Kita cuma jadi tameng kerajaan, sementara
raja sangat sewenang-wenang kepada rakyat.”

“Masalahnya, belum ada orang yang
mampu menandingi dan menumbangkan raja
yang sewenang-wenang itu.”

“Satu saat, lebih baik kita membelot
daripada hidup menjual diri. Rasanya sungguh
nista, menjual diri ke pihak yang zalim, kepada
raja yang sudah tidak diinginkan rakyat.”

“Benar, Sobat! Uang bukan segalanya. Kita
tidak perlu selamanya menjual diri. Rezeki kita
Allah yang menentukan, bukan manusia, bukan
raja yang menentukan!”

“Aku rela berjuang tanpa dibayar, asal
aku yakin aku membela sesuatu yang benar.
Sekarang ini aku merasa tertekan, aku seperti
dipaksa membela kezaliman demi gaji yang aku
terima. Aku seperti dipaksa untuk memerangi
dan membungkam hati nuraniku sendiri.”

“Benar, Sobat! Kita semua berada dalam
situasi yang tidak kita harapkan. Kita tunggu
saja saat yang tepat untuk bangkit. Tak ada
yang abadi di dunia ini, yang abadi hanya Allah.”

Sebuah rumah panggung berdiri tersembunyi
di rimba belantara. Seorang pun tidak akan
menduga bahwa di rimba belantara yang sunyi
itu terdapat sebuah rumah panggung.

Rumah panggung itu jauh dari permukiman penduduk
dan tertutupi pepohonan yang tumbuh lebat di
sekitarnya.

Tanaman paria (peria atau pare)
juga menjalari tiang, tangga, dan atap rumah
sehingga rumah panggung itu tertutup oleh
hijau dedaunan.

Dua orang kakak beradik yang telah yatim
piatu tinggal di rumah panggung itu. Yang
sulung adalah seorang gadis berusia enam belas
tahun, namanya Samba.

Karena rumahnya tertutup rapat oleh tanaman paria, orang-orang
yang mengenalnya memanggilnya Samba Paria.
Adik Samba adalah seorang laki-laki berusia sepuluh tahun.

Keduanya hidup rukun saling menyayangi.

Sekitar lima tahun silam, ketika Samba masih
kanak-kanak, kedua orang tua Samba melawan
ketika tentara kerajaan akan merampas emas
perhiasan yang mereka kenakan.

Akibatnya, ibu dan bapak Samba dianiaya oleh tentara
kerajaan yang bengis itu.

Karena luka-lukanya tidak dapat disembuhkan, akhirnya bapak
ibu Samba meninggal dalam waktu yang
berdekatan.

Sebelum ajal menjemput, ibu Samba yang meninggal setelah ayahnya berpesan
kepada Samba, “Samba anakku, rawatlah dan
sayangilah adikmu seperti selama ini Bapak dan
Ibu menyayangi kalian berdua.”

Samba hanya bisa menganggukkan kepala sembari meneteskan air mata.
Waktu terus bergulir, Samba tumbuh menjadi
gadis belia yang cantik dan tangguh.

Sehari-hari ia memasak sayur yang dengan mudah diperoleh dari sekitar rumah panggungnya.

Dari kejauhan, rumah mereka hampir tidak kelihatan, karena selain tertutupi pepohonan rindang di sekitarnya, juga diselubungi oleh tanaman paria (pare) yang menjalar mulai dari tiang, tangga, dinding, hingga ke atap rumahnya.

Itulah sebabnya, gadis cantik itu dipanggil “Samba` Paria”, yang berarti perempuan yang rumahnya diselubungi tanaman paria.

Pada suatu hari, Samba` Paria bersama adiknya sedang asyik menyantap makanan jepa di dalam rumah. Tanpa disengaja, ketika sang Adik akan memasukkan jepa ke dalam mulutnya, tiba-tiba terlepas dari tangannya dan langsung jatuh ke tanah. Mereka membiarkan jepa itu di tanah, karena kotor dan tidak layak lagi untuk dimakan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, rombongan rajasedang berburu binatang di hutan itu. Mereka datang dengan menunggangi kuda dan membawa serta beberapa ekor anjing pemburu yang sudah terlatih. Saat berada di tengah hutan, tidak jauh dari rumah Samba` Paria, mereka melepaskan tali anjing-anjing pemburu tersebut dan membiarkannya pergi mencari mangsa. Pada saat anjing-anjing tersebut terlepas, terdengarlah suara gonggongan anjing memecah kesunyian hutan.

Tidak berapa lama kemudian, seekor anjing kesayangan sang Raja telah kembali sambil menggigit sesuatu di mulutnya.

“Pengawal! Cepat ambil benda itu dan bawa kemari!” titah sang Raja yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.

“Hamba laksanakan, Tuan,” jawab seorang pengawal lalu menghampiri anjing itu.

Setelah mengambil benda itu, si pengawal segera menyerahkannya kepada sang Raja.

“Ampun, Tuan! Benda ini ternyata sepotong jepa yang masih hangat,” lapor pengawal itu sambil menyerahkan jepa itu kepada raja.

“Apa katamu? Jepa hangat? Dari mana anjing itu mendapat jepa hangat di tengah hutan belantara seperti ini?” tanya sang Raja penuh keheranan.

Sang Raja yakin bahwa orang yang membuat jepa itu pasti berada di sekitar hutan tersebut. Oleh karena penasaran, ia pun memberikan isyarat kepada anjingnya agar mengantarnya ke tempat di mana ia memperoleh jepa hangat itu. Akhirnya, anjing yang sudah mengerti maskud tuannya itu segera berlari sambil menggonggong menuju ke sebuah tempat. Sang Raja pun mengikutinya dari belakang dengan menunggangi kuda putih kesayangannya. Kemudian disusul oleh beberapa orang pengawal raja.

Tidak berapa lama, sampailah mereka di depan rumah Samba` Paria yang diselubungi tanaman pare. Sang Raja hampir tidak percaya melihat sebuah rumah di tengah hutan belantara itu. Oleh karena sudah tidak sabar ingin mengetahui penghuni rumah itu, ia pun segera menaiki beberapa anak tangga.

“Permisi… apakah ada orang di dalam?” tanya sang Raja sambil mengetuk pintu.

Beberapa saat kemudian, pintu rumah itu terbuka pelan-pelan. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di hadapannya.

“Aduhai… cantiknya gadis ini,” ucap sang Raja dalam hati dengan takjub.

Saat itu pula, hati sang Raja tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia menaruh hati kepada gadis itu. Hati Samba` Paria pun bergetar tidak karuan. Tetapi bukan karena jatuh hati, melainkan karena ia tahu bahwa orang yang sedang berdiri di depannya adalah seorang raja. Ia mengetahui hal itu, karena melihat pakaian yang dikenakannya dipenuhi perhiasan emas yang berkilauan. Samba` Paria pun bertambah yakin ketika melihat kuda yang ditunggangi orang itu berwarna putih. Di daerah Mandar pada masa itu, kuda berwarna putih merupakan kuda yang sangat istimewa yang hanya ditunggangi oleh raja dan kalangan ningrat kerajaan.

“Silahkan masuk, Tuan!” Samba` Paria mempersilahkan sang Raja sambil memberi hormat.

”Terima kasih, gadis cantik! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu dan kamu tinggal bersama siapa di rumah ini?” tanya sang Raja.

“Ampun, Tuan! Hamba Samba` Paria. Hamba tinggal di rumah ini bersama adik hamba yang masih berumur sepuluh tahun,” jawab Samba` Paria.

“Aku adalah raja negeri ini. Aku bersama beberapa orang pengawalku sedang berburu binatang di hutan ini,” kata sang Raja memperkenalkan dirinya.

“O, iya. Aku sangat haus, bolehkah aku minta air minum?” pinta sang Raja.

Samba` Paria pun segera menyuruh adiknya untuk mengambilkan air untuk sang Raja. Setelah adiknya masuk ke dapur, ternyata persediaan air minum mereka telah habis.

`Ampun, Tuan! Kebetulan persediaan air minum hamba telah habis. Tapi, jika Tuan berkenan menunggu, hamba akan menyuruh adik hamba untuk mengambil air minum di sungai yang terletak di balik gunung,” kata Samba` Paria.

“Dengan senang hati, aku akan menunggu di sini. Apalagi ada gadis cantik menemaniku,” ucap sang Raja mulai merayu.

Saat itu, tiba-tiba muncul niat buruk sang Raja ingin menculik Samba` Paria untuk dijadikan Permaisurinya. Sebelum adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja melubangi tempat air yang biasa digunakan Samba` Paria. Sang Raja melakukan hal itu, agar anak kecil itu berlama-lama di sungai. Sebab, tidak mungkin anak itu dapat mengisi wadah air yang berlubang.

Beberapa saat setelah adik Samba` Paria berangkat ke sungai, sang Raja pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera memerintahkan beberapa pengawalnya yang menunggu di depan rumah agar membawa gadis cantik itu ke istana.

“Ampun, Tuan! Jangan bawa hamba ke istana! Kasihan adik hamba jika ditinggal sendirian di sini,” kata Samba` Paria mengiba kepada sang Raja.

“Ah, biarkan dia sendirian di sini dimakan binatang buas,” ucap sang Raja dengan nada ketus.

“Pengawal! Bawa segera calon permaisuriku ini!” titah sang Raja.

“Baik, Tuan!” jawab para pengawal serentak dan segera melaksanakan perintah.

Samba` Paria pun mulai bingung, karena adiknya belum juga pulang dari sungai. Sang Adik pasti akan mencarinya jika para pengawal itu membawanya ke istana. Ia pun segera mencari cara agar dapat meninggalkan jejak, sehingga adiknya dapat mengetahui ke mana arah perginya.

”Ampun, Tuan! Sebelum Tuan membawa hamba, bolehkah hamba mengajukan satu permintaan?” pinta Samba` Paria.

“Apakah itu? Katakanlah!” seru sang Raja.

“Bolehkah hamba membawa beberapa lembar daun paria? Hamba sangat senang makan sayur daun paria,” ungkap Samba` Paria.

Sang Raja pun memenuhi permintaan Samba` Paria. Setelah memetik puluhan lembar daun paria, Samba` Paria pun dibawa ke istana dengan menggunakan kuda. Dalam perjalanan menuju ke istana raja, Samba` Paria merobek-merobek daun paria itu lalu membuangnya di sepanjang jalan yang dilaluinya agar adiknya dapat mengetahui jejaknya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, Samba` Paria bersama rombongan raja tiba di istana raja.

Sementara itu adik Samba` Paria baru saja kembali dari sungai tanpa membawa air minum sedikit pun. Sesampai di depan rumahnya, ia melihat pintu rumahnya tertutup rapat.

“Kenapa sepi begini? Apakah rombongan raja itu sudah pergi?” tanyanya dalam hati.

Dengan pelan-pelan, anak itu menaiki anak tangga rumahnya satu per satu. Setelah berada di depan pintu, ia pun berteriak memanggil kakaknya.

“Kak… ! Kak Samba`… ! Adik pulang…!”

Berkali-kali ia berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Akhirnya ia pun langsung membuka pintu. Alangkah terkejutnya anak itu setelah mengetahui kakaknya tidak ada di dalam rumah. Ia kemudian mencarinya di sekitar rumah, namun tidak juga menemukan kakaknya.

“Ka…. kak…, kamu di mana?” anak itu menangis tersedu-sedu sambil duduk di depan rumahnya.

Beberapa saat kemudian, pandangan anak itu tertuju pada sobekan daun paria yang berserakan di sepanjang jalan di depan rumahnya. Akhirnya, ia pun mengerti bahwa kakaknya dibawa pergi oleh rombongan raja tersebut.

Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun mengikuti sobekan daun paria itu untuk mencari kakaknya. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya sampailah ia di rumah raja. Sebuah rumah panggung yang sangat megah.

“Kak…! Kak Samba`…!” teriak anak itu di samping rumah raja.

Setelah berteriak berkali-kali dan tidak mendapat jawaban, akhirnya anak itu berkata:

“Jika Kakak tidak sudi menemui Adik, perlihatkanlah separuh wajah Kakak di jendela!” pintanya.

Namun, dari atas rumah itu, sang Raja justru memperlihatkan padanya wajah kucing. Sementara Samba` Paria dikurung dalam kamar agar tidak keluar menemui adiknya. beberapa saat kemudian, anak itu berkata lagi.

“Jika Adik tidak boleh melihat wajah Kakak, perlihatkanlah tangan Kakak!”

Hati anak itu hancur, karena sang Raja memperlihatkan kaki depan kucing kepadanya. Lalu ia berkata lagi.

“Jika Kakak masih menyayangi Adik, tunjukkanlah kaki Kakak!”

Benar-benar malang nasib anak itu. Sang Raja kembali memperlihatkan kaki belakang kucing kepadanya. Oleh karena mengira sang Kakak tidak sudi lagi menemuinya, akhirnya anak kecil itu berpesan.

“Baiklah, jika Kakak tidak sudi menemui Adik, Adik akan pulang ke rumah. Adik akan menanam sebatang pohon kelor di sini. Jika batang kelor ini layu berarti Adik sedang sakit keras. Dan, jika batang kelor ini mati, berarti Adik juga sudah mati,” kata anak itu lalu bergegas pergi dengan perasaan sedih dan kecewa.

Samba` Paria hanya bisa menangis mendengar semua pesan terakhir adiknya dari dalam rumah itu. Ia selalu mengkhawatirkan nasib adiknya yang tinggal sendiri di tengah hutan. Untuk mengetahui keadaan adiknya, setiap hari ia mengintip batang kelor itu melalui jendela rumah. Semakin hari batang kelor itu semakin layu. Hal itu menunjukkan bahwa adik Samba` Paria sedang sakit keras. Mengetahui kondisi itu, Samba` Paria mulai panik. Ia pun segera mencari cara agar bisa melarikan diri dari istana raja.

Pada suatu hari, saat sang Raja pergi berburu, Samba` Paria memasak nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, karena ia berniat untuk melarikan diri. Setelah semua makanan sudah matang, ia lalu mengajak dayang-dayang istana pergi mandi di sungai yang berada tidak jauh dari istana. Ketika sedang asyik mandi, Samba` Paria sengaja membuang cincin pemberian sang Raja kepadanya ke dalam air.

“Tolong… tolong… cincinku jatuh ke dalam air!” teriak Samba` Paria.

Mendengar teriakan tuannya itu, dayang-dayang tersebut segera melompat ke dalam sungai. Mereka harus menemukan cincin itu. Jika tidak, mereka pasti akan dihukum oleh sang Raja. Pada saat dayang-dayang tersebut menyelam di dalam air, Samba` Paria segera mengenakan pakaiannya dan mengambil bungkusan makanannya, lalu menunggang kuda hendak menemui adiknya yang dikiranya sudah meninggal.

Sesampai di rumahnya, ia mendapati adiknya sedang sekarat. Dengan panik, ia pun segera membuka bungkusan makanan yang dibawanya lalu menyuapi adiknya. Meskipun dengan pelan-pelan, adiknya masih bisa mengunyah dan menelan makanan itu. Akhirnya, sang Adik pun perlahan-lahan pulih dan sudah bisa diajak berbicara. Namun hal itu belum membuat hati Samba` Paria menjadi tenang, karena Raja Mandar pasti akan menyusul dan membawanya kembali ke istana.

Samba` Paria pun segera menghaluskan biji cabe rawit, merica, dan daun kelor sebanyak-banyaknya. Setelah itu, ia mencampurnya dengan abu dapur, lalu memberinya air sehingga bentuknya seperti adonan kue.

Tidak lama kemudian, Raja Mandar benar-benar datang mencarinya. Sang Raja langsung naik ke rumah dan mengetuk pintu.

“Hei, Samba` Paria, buka pintunya! Kalau tidak, aku dobrak pintu ini!” seru sang Raja yang sudah berdiri di depan pintu dengan geram.

Samba` Paria pun segera membuka pintu rumahnya sambil membawa wadah dari tempurung kelapa yang berisi adonan cabe rawit, abu, daun kelor dan merica. Saat pintu terbuka, ia langsung menyiramkan adonan tersebut kepada kedua mata sang Raja. Raja itu pun langsung menjerit menahan rasa perih sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa disadari, tiba-tiba kakinya terpeleset dan akhirnya jatuh terjungkal-jungkal ke tanah. Raja itu pun tewas seketika, karena tulang lehernya patah terpental di tangga rumah Samba` Paria. Sejak itu, Samba` Paria pun kembali hidup damai, rukun, dan tenang bersama adiknya.

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved