Opini

Mengherankan, Penawar Tertinggi Justru Menang Tender Gorden DPR, Ada Apa?

Pemenuhan kebutuhan rakyat sudah seharusnya menjadi prioritas, bukan justru sibuk memikirkan untuk memperindah kediaman para anggota DPR.

Editor: Ilham Mulyawan
Hamsinah Halik fo Tribun Sulbar
Hamsina Halik Anggota Komunitas Revowriter dan Kontributor Antologi Ngaji Islam Kaffah 

Oleh: Hamsina Halik
Anggota Komunitas Revowriter dan Kontributor Antologi Ngaji Islam Kaffah

TRIBUN-SULBAR.COM - Lagi-lagi penguasa, terutama anggota dewan yang tidak lain mereka adalah para wakil rakyat, tak menunjukkan sense of crisis kepada rakyat di tengah masa pemulihan ekonomi saat ini.

Pemenuhan kebutuhan rakyat sudah seharusnya menjadi prioritas, bukan justru sibuk memikirkan untuk memperindah kediaman para anggota DPR.

Meski banyak penolakan, proyek pengadaan tetap dilaksanakan. Namun, pemenang tender gorden DPR ini sungguh mengherankan publik.

Sebagaimana dilansir dari tribunnews.com pada 12/05/2022, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menyebut, pengadaan gorden yang diperuntukkan bagi rumah jabatan anggota DPR RI senilai Rp43,5 miliar menuai polemik di tengah masyarakat.

Selain angka pengadaan gorden yang dinilai fantastis, juga lantaran pemenang tender pengadaan gorden tersebut merupakan peserta dengan harga penawaran tertinggi di antara peserta tender lainnya.

Legislator PDI Perjuangan itu menyarankan agar pengadaan gorden senilai Rp 43,5 miliar dibatalkan.

Sebab, hal itu telah melukai hati rakyat.

Sebelumnya, sorotan juga datang dari Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) terkait pemenang tender gorden DPR ini.

Pasalnya, pemenang tender justru berasal dari perusahaan yang memberikan penawaran tertinggi.

"Bagaimana bisa pemenang tender justru adalah perusahaan yang akan menyedot anggaran, bukan perusahaan yang bisa memberikan selisih harga yang menguntungkan negara?" kata peneliti Formappi Lucius Karus, saat dihubungi. (tribunnews.com, 09/05/2022)

Tentu saja, hal ini membuat publik heran. Pemenang tender justru penyodor tawaran harga tertinggi. Lazimnya, pengadaan barang dengan sistem tender untuk mencari kualitas tertinggi dengan harga yang paling ekonomis.

Maka, wajar jika aroma korupsi tercium.

Dari sisi urgensitasnya jelas dipertanyakan, segenting apakah mengganti gorden rumah dinas para anggota DPR jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang kian memprihatinkan saat ini?

Padahal, untuk pembiayaan ini diambil dari dana APBN. Sedangkan dana APBN ini sumber utamanya dari pajak rakyat.

Sayangnya, bukan rakyat yang menikmatinya, justru para pejabat yang mengatasnamakan rakyat.

Sementara, rakyat hidup dalam kesengsaraan dan kesulitan hidup akibat kebutuhan hidup yang kian serba mahal. Ditambah kebijakan pemerintah menaikkan PPN sebesar 11 persen dan kenaikan harga BBM.

Semakin melengkapi kesulitan rakyat.

Namun, inilah buah dari sistem demokrasi kapitalis sekuler yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan. Harta rakyat jadi ajang bancakan banyak pihak demi keuntungan segelintir elit dan penyokongnya.

Seharusnya anggaran negara di gunakan sebaik-baiknya hanya untuk kepentingan masyarakat banyak.

Berada di pucuk kekuasaan memang menggiurkan. Itulah sebabnya begitu banyak manusia tergelincir lantaran harta yang ia dapatkan.

Namun, publik patut bertanya mengapa saat publik mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, penguasa justru mendapatkan fasilitas mewah menggunakan uang rakyat?

Beda halnya dengan Islam. Islam memandang pemimpin dan para pejabatnya adalah pelayan umat. Mereka diangkat oleh rakyat menjadi wakilnya bukan untuk pemenuhan materi duniawi semata.

Melainkan ini adalah amanah yang sangat berat pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak, sehingga mereka harus mampu mengemban amanah itu agar terpenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.

Karena adanya pertanggungjawaban ini, maka sudah seharusnya mereka bersungguh-sungguh dalam mengurus rakyatnya dan tidak menjadi penguasa yang zalim.

Sebab, penguasa yang zalim di akhirat kelak akan menuai azab yang pedih. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)

Adapun untuk mencegah pejabat yang gila harta dan jabatan, maka dalam sistem Islam ada beberapa langkah yang ditempuh, diantaranya mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Tujuannya untuk mengontrol dan mengawasi agar mereka tak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadi mereka.

Sebagaimana Umar bin Khattab ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan harta yang tak wajar mereka diminta membuktikan bahwa hasil kekayaannya bukanlah hasil korupsi atau hal haram lainnya.

Selain itu, membangun keimanan dan ketakwaan para pejabatnya melalui pembinaan akidah. Mereka harus menyadari bahwa harta dan amanah yng diberikan pasti dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Mereka hidup sederhana meksi kaya. Kekayaan justru disedekahkan bukan disimpan. Mereka tidak akan segan menggunakan harta kekayaannya untuk membantu rakyat.

Abu Ubaidah bin al Jarrah seorang wali (setingkat gubernur) di masa kekhilafan Umar bin Khattab, sahabat Nabi SAW dan juga panglima besar penaklukan negeri Syam. Di dalam rumahnya yang luas, Abu Ubaidah hanya memiliki sebilah pedang, baju besi dan satu kendaraan. Meski khalifah Umar bin Khattab menyarankan agar ia mengambil sesuatu dari harta berlimpah di sekitarnya. Abu Ubaidah menolak. Seorang gubernur lebih memilih zuhud dibanding bergelimang harta.

Langkah lainnya, yaitu dengan pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan digaji yang cukup, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu pemberian gaji yang cukup bisa meminimalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan. Rasulullah SAW bersabda:

"Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah. Jika tidak mempunyai pembantu, hendaknya ia mengambil pelayan; Jika tdak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa yang mengambil selainnya itulah kecurangan (ghalin)." (HR. Abu Dawud)

Adanya pengawasan dan kontrol masyarakat juga sangat penting dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Koreksi dan masukan kepada pemimpin dan para pejabat dibawahnya disampaikan melalui majelis umat. Yang mana majelis umat ini beranggotakan orang-orang yang dipercaya umat untuk menyampaikan pendapat, keluhan, kritik dan saran pada penguasa.

Mereka dipilih berdasarkan integritas dan kepercayaan. Bukan pencitraan sebagaimana dilakukan wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Semua itu tak akan berjalan sempurna tanpa adanya penerapan sistem politik Islam yang mengurusi urusan rakyat. Sistem politik ini juga tak akan bisa dijalankan tanpa sistem pemerintahan Islam.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Perokok Pemula dan Dilema Budaya

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved