Hukum Mati Koruptor, Pakar Hukum Unsulbar Khawatir Digunakan Penguasa Hilangkan Lawan Politik

"Harus satu standar. Yang dekat dengan penguasa dan yang tidak dekat dengan penguasa harus diperlakukan sama," tukasnya.

Penulis: Nasiha | Editor: Hasrul Rusdi
Tribun-Sulbar.com/Misbah Sabaruddin
Dosen Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISI) Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) Muchtadin Al-Attas. 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAJENE - Penerapan pidana hukuman mati bagi koruptor oleh Kejaksaan Agung masih menuai polemik.

Utamanya dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).

Sejumlah aktivis HAM menolak penerapan pidana mati tersebut.

Dosen Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) Muchtadin Al-Attas juga angkat suara.

Ia mempertanyakan, pidana mati ini apakah diterapkan dalam konteks pemberlakuan pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 Jo. UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi.

Baca juga: Tim SAR Mamuju Hentikan Pencarian DPO Kasus Narkoba, Diduga Hanyut di Sungai Tarailu

Baca juga: Pemprov Sulbar Belum Tetapkan UMP, Kadis Tenagakerja: Menunggu Tanda Tangan Gubernur

Kajati Sulbar, Johny Manurung di dampingi Aspidsus Feri Mufahir dan Kasi Penkum Amiruddin melakukan pres rilis penahanan tersangka dugaan korupsi Pekerjaan Tutupan Lahan dengan Mangrove pada Badan Lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Barat Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Pasangkayu ke dalam penjara, Kamis (3/6/2022).
Kajati Sulbar, Johny Manurung di dampingi Aspidsus Feri Mufahir dan Kasi Penkum Amiruddin melakukan pres rilis penahanan tersangka dugaan korupsi Pekerjaan Tutupan Lahan dengan Mangrove pada Badan Lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Barat Tahun Anggaran 2016 di Kabupaten Pasangkayu ke dalam penjara, Kamis (3/6/2022). (TribunSulbar.com/Nurhadi)

Ataukah menambahkan pidana mati untuk beberapa pasal yang lain melalui mekanisme perubahan Undang-undang.

"Jika yang dipertanyakan soal menerapkan Pasal 2 ayat (2), hal ini tentu sangat berhubungan erat dengan kesesuaian perbuatan (fakta) dengan rumusan pasal yang dimaksud. Tapi kalau yang dipersoalkan adalah menambahkah sanksi pidana mati dalam UU korupsi lewat mekanisme perubahan UU, hal ini menarik untuk dikaji," ujar Muchtadin kepada Tribun-Sulbar.com, Sabtu (20/11/2021).

Menurutnya, penegakkan hukum harus tetap mengedepankan asas kemanusiaan.

"Hukuman mati ini, bagi para aktivis HAM dan tentu kita juga sebagai manusia adalah hal yang bertentangan dengan HAM," ucapnya.

Ia mengatakan, hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Dalam pergaulan internasional, Indonesia dituntut untuk menghapuskan pidana mati.

"Jika tidak bisa dihapus, maka terpidana mati ditangguhkan eksekusinya atau bahkan tidak dieksekusi," lanjutnya.

HAM di Indonesia digolongkan sebagai constitutional rights.

Baca juga: LK II HMI MPO Mamuju Diikuti 25 Peserta, Ada dari Banda Aceh

Baca juga: Kemelut Kasus Suap Liga 3, Menpora: Pelaku Harus Diajatuhi Hukuman yang Berat

Dimana, constitutional rights adalah hak asasi manusia yang tercantum secara tegas dalam UUD tabun 1945. Sehingga, HAM resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara.

Terkait efektifitas, ia tak menampik jika hukuman mati dalam dapat menjadi detterence/ pencegah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved