Opini

Pahlawanku Teladanku

Secara umum, pahlawan adalah orang yang memiliki aset dan kontribusi dalam melawan ketidakadilan.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok Ilham Sopu
Ilham Sopu, salah satu cendikiawan Muslim asal Kabupaten Polman, Sulawesi Barat, sehari-hari sebagai pengajar di salah satu pondok pesantren di Pambusuang. 

Namun demikian, kita tidak boleh pesimistis menghadapi problem ini dan minimnya keteladanan.

Dalam perspektif agama, kita dilarang keras untuk pesimistis. Terdapat ungkapan bahwa akan selalu muncul suatu kaum yang menjadi pembaharu, yang memberikan teladan pemikiran dalam memperbaiki masyarakat.

Pahlawan-pahlawan keteladanan akan selalu muncul dalam kurun waktu tertentu. Bagaimanapun krisisnya keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan, akan selalu ada bintang yang menyinari semangat kebangsaan.

Dalam perspektif keindonesiaan, jika kita menelusuri gelombang pergantian orde di Indonesia, bahkan sebelum munculnya Orde Lama, selalu ada tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam memerankan visi kebangsaan.

Lahirnya tokoh-tokoh teladan di setiap era memiliki pengaruh besar dalam menjaga eksistensi bangsa dari ancaman perpecahan, baik dari luar maupun dari dalam negeri.

Ungkapan yang sering muncul ketika memperingati Hari Pahlawan adalah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” 
Pengertian ungkapan ini sangat luas.

Selain mengenang pengorbanan para pahlawan dalam menjaga eksistensi bangsa, yang tak kalah penting adalah mengadopsi jiwa kepahlawanan, keikhlasan, dan pandangan jauh ke depan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme.

Penghargaan terhadap jasa para pahlawan harus terus dipupuk di kalangan generasi milenial dan generasi Z saat ini.

Sebab, ada kecenderungan nilai-nilai kebangsaan di kalangan generasi muda terus mengalami erosi akibat serangan ideologi instan, termasuk gerakan-gerakan transnasional yang dapat melemahkan jiwa nasionalisme.

Program pemerintah untuk menggalakkan sosialisasi moderasi beragama sangat penting dan perlu dukungan berbagai pihak, seperti ormas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, guna mengampanyekan pilar-pilar moderasi beragama.

Program ini harus terus dimasifkan hingga ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, agar sejak dini generasi muda mengenal pemikiran keagamaan yang menyejukkan, toleran, tawassuth (moderat), dan berkeadilan.

Sejak gerakan reformasi tahun 1998, muncul berbagai gerakan keagamaan yang berhaluan keras dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam moderat yang dibawa para ulama terdahulu—ulama yang sangat menghargai nilai-nilai kultural yang telah berkembang di Indonesia.

Karena itu, perlu kita tanamkan kembali pemikiran keislaman dan kebangsaan yang diwariskan para pemikir Islam moderat, yang mewariskan Islam wasathiyah sebagaimana diajarkan Nabi.

Keberadaan dua organisasi besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sebagai pengusung Islam moderat memiliki peranan besar dalam membendung pemikiran liberal dan tekstualis yang dapat merusak keragaman yang sudah membudaya di Indonesia.

Pesan Nabi terkait pentingnya keteladanan, sebagaimana beliau praktikkan sendiri, adalah “Lisanul hal afsahu min lisanil maqaal” bahasa keteladanan lebih fasih daripada bahasa lisan.

Itulah yang menginspirasi para pejuang kemerdekaan untuk tampil sebagai pejuang sekaligus menjadi aset terbaik bagi generasi berikutnya.(*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Perokok Pemula dan Dilema Budaya

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved