Opini
Kesantunan Berbahasa Kian Meredup: Refleksi di Bulan Bahasa dan Sastra
Bahasa menjadi jembatan yang menghubungkan manusia Indonesia dalam satu kesadaran nasional.
Hasilnya: 70 persen responden menggunakan strategi kesantunan berbahasa, sehingga suami tidak merasa harga dirinya terancam. Penelitian itu merekomendasikan agar kesantunan dalam komunikasi dipertahankan secara konsisten untuk meminimalkan konflik rumah tangga.
Bagaimana dengan keadaan kita?
Dalam berbagai debat dan talkshow, kita banyak menyaksikan pemakaian bahasa yang tidak mencerminkan kesantunan penuturnya: bahasa justru dipakai untuk menyerang pribadi dan mempermalukan sesama.
Akibatnya, diskusi menjadi kering tanpa empati dan tersesat jauh dari tujuan utamanya, yaitu mencerahkan publik.
Di media sosial atau di ruang-ruang digital, situasinya lebih serius lagi. Ujaran kebencian tumbuh subur seperti rumput liar yang tak terkendali. Kalimat-kalimat yang lahir dari amarah kerap melampaui batas kewajaran: melecehkan, menghina, dan merendahkan.
Kominfo pernah mencatat ratusan pelanggaran UU ITE setiap tahunnya terkait ujaran kebencian. Pelakunya bermacam-macam, mulai dari publik figur sampai warga biasa.
Intinya: bahasa yang seharusnya menghubungkan justru menciptakan jarak dan luka sosial. Padahal, Bolinger pernah mengingatkan bahwa “language is a loaded weapon” (bahasa adalah senjata berpeluru). Ia bisa melindungi, tetapi juga bisa melukai. Karena itu berhati-hatilah menggunakannya.
Di tingkat lokal, di wilayah yang seharusnya masih kuat nila-nilai budayanya, kini terjadi pergeseran.
Kita bisa menguji klaim ini dengan melihat keseharian di jalan, di rumah atau di sekolah: bagaimana anak-anak di kampung berbahasa kepada orang tua atau orang tua kepada anak-anak?
Apakah mereka masih mengajarkan nilai-nilai kesantunan, atau justru anak-anak belajar dari contoh yang keliru di sekitar mereka?
Keadaan itu memberitahu bahwa perubahan bahasa sejalan dengan perubahan kebudayaan.
Seperti yang pernah diingatkan oleh Edward Sapir, "Language is the most massive and inclusive art we know, a mountainous and anonymous work of unconscious generations.
"Bahasa adalah karya kebudayaan yang diwariskan lintas generasi. Jika kehalusannya terkikis, maka yang rapuh bukan hanya bahasa itu sendiri, melainkan juga peradaban yang menumbuhkannya.
Ide Sapir di atas diperkuat oleh Ludwig Wittgenstein, yang mengingatkan, “The limits of my language mean the limits of my world”—batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku.
Kira-kira, ia mau bilang kalau kesantunan berbahasa memudar, maka batas dunia moral kita pun menyempit, pada akhirnya nanti kita kehilangan ruang untuk saling menghargai.
Akhirnya, saat ini, kita tidak sekadar berhadapan dengan krisis lingkungan, tetapi juga krisis etika berbahasa—krisis yang tampaknya cukup halus, namun perlahan merusak peradaban tutur kita dan merusak kesadaran moral bersama. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.