Opini
Bukan Cuci Mata, tetapi Sakit Mata
Padahal, hukum tidak bisa ditegakkan dengan teriakan di jalan, apalagi ancaman pamer tubuh.
Oleh : Asyraf Alharaer Assegaf
Ketua Komisi Aspirasi Senat Mahasiswa IAIN Parepare
TRIBUN-SULBAR.COM- Beberapa hari lalu, Minggu (5/10/2025) publik media sosial dihebohkan oleh unggahan akun Instagram LambeTurah. Sebuah organisasi perempuan pendukung Presiden Joko Widodo mengancam akan berdemo di depan Mabes Polri hanya mengenakan bra (BH) dan celana dalam (CD).
Alih-alih menimbulkan simpati, ancaman itu justru mengundang keprihatinan. Aksi yang mereka sebut sebagai solidaritas berubah menjadi tontonan yang menodai kepatutan publik, bukan cuci mata melainkan sakit mata.
Baca juga: Update Harga Emas Hari Ini,Antam Meroket, UBS Turun Tipis
Baca juga: Jelang Akhir Tahun, Bapperida Tancap Gas, Kinerja Keuangan Triwulan III Sudah di Angka 66,56 Persen
Kelompok tersebut bahkan mengklaim siap mengerahkan 500 perempuan. “Kalau tidak cepat diselesaikan, kami lima ratus perempuan akan turun memakai BH dan celana dalam. Kami marah karena Pak Jokowi tiap hari di-bully,” ujarnya dalam konferensi pers yang videonya diunggah akun itu.
Padahal, hukum tidak bisa ditegakkan dengan teriakan di jalan, apalagi ancaman pamer tubuh. Hukum berdiri di atas bukti, saksi, dan prosedur yang sah. Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1998 memang menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum, tetapi juga menegaskan bahwa penyampaian aspirasi harus dilakukan dengan tertib, menghormati hak orang lain, dan sesuai norma kesusilaan.
Namun yang kita saksikan hari ini justru bertolak belakang dengan semangat undang-undang tersebut. Emosi massa dijadikan dalih untuk menekan proses hukum. Jika perkara diputuskan karena tekanan kerumunan, keadilan hanya akan tinggal slogan, dan hukum kehilangan wibawanya.
Dalam perkara hukum yang sah sebagai alat bukti hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa sebagaimana diatur KUHAP. Tidak ada satu pun pasal yang menganggap sorak-sorai massa atau ancaman di jalan sebagai dasar pertimbangan hakim.
Faktanya kita lihat bahwa sekarang menunjukkan loyalitas terhadap individu kerap mengalahkan kesadaran hukum. Alih-alih menempuh jalur sah seperti praperadilan atau upaya hukum lainnya, yang dipilih justru ancaman pamer tubuh di ruang publik.
Ini bukan lagi ekspresi politik, melainkan kemunduran moral. Begitu hukum digeser oleh emosi, keadilan berubah menjadi transaksi, dan martabat publik runtuh bersama wibawa negara.
Ancaman membuka aurat di tempat umum adalah pelanggaran ganda yang melanggar hukum positif sekaligus menyalahi norma sosial. Dalam budaya yang menjunjung adab ketimuran, tubuh bukanlah alat propaganda, dan jalanan bukan tempat untuk menanggalkan kehormatan.
Kitab suci Al-Quran mengingatkan: “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik…” (QS. Al-A‘rāf: 26) Pesan ayat ini jelas bahwa pakaian bukan sekadar kain, tetapi lambang adab dan harga diri.
Menanggalkan adab di ruang publik sama saja menelanjangi martabat diri sendiri. Fenomena ini tidak lahir di ruang kosong. Ia tumbuh dari kekecewaan sosial, rendahnya literasi hukum, dan kecenderungan mengkultuskan figur.
Dalam kondisi seperti ini, kritik terhadap proses hukum kerap dianggap sebagai serangan terhadap idola, dan setiap langkah aparat dipersepsikan sebagai permusuhan. Ini bukan sekadar ketidaktahuan. Ini penolakan sadar terhadap kebenaran karena kebenaran itu tidak sesuai selera kelompok.
Fakta diabaikan, hukum dicemooh, dan nurani berhenti bekerja. Bahaya terbesar dari sikap ini ialah sifatnya yang menular. Ketika keangkuhan batin mengalahkan kejernihan akal, masyarakat tidak lagi menolak karena tidak tahu, tetapi karena enggan mengakui kekeliruan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.