Opini

Kesantunan Berbahasa Kian Meredup: Refleksi di Bulan Bahasa dan Sastra

Bahasa menjadi jembatan yang menghubungkan manusia Indonesia dalam satu kesadaran nasional.

Editor: Nurhadi Hasbi
Istimewa
Nirwan Soeja, Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia 

Seseorang yang terbiasa bertutur santun cenderung lebih empati dan menghormati orang lain. 

Mengabaikan kesadaran ini, kita semua kehilangan koneksi dengan warisan budaya leluhur yang mewah itu.

Sebagai contoh, coba kita lihat kemewahan bahasa daerah ini dan semua bahasa daerah di Sulawesi Barat dalam tata bahasanya secara singkat.

Ia dibangun dari struktur sintaksis yang unik, berbeda dengan bahasa Indonesia, Inggris, dan kebanyakan bahasa daerah yang ada di wilayah Barat Indonesia.

Kaidahnya unik karena subjek (pelaku kegiatan) ditempatkan setelah kata kerja, sehingga polanya seperti ini: Kata kerja + subjek, pola ini justru berlawanan dengan bahasa Indonesia, di mana subjek muncul lebih dulu, baru kata kerja.

Sebagai contoh, perhatikan kata Mandeko dan Mandeki. Mande adalah kata kerja yang berarti makan, pemarkah ko atau ki mengacu pada subjek dalam pengertian yang kultural—berkaitan dengan aspek kesantunan.

Konstruksinya sedikit mirip bahasa Latin kuno, di mana akhiran kata kerja mengalami konjugasi atau perubahan karena mengalami perubahan subjek.

Misalnya dalam kata cogito (aku berpikir), subjek terlihat melalui bunyi “o”, bila subjeknya diganti menjadi “kamu” maka bentuknya berubah menjadi cogitas, dan bila subjeknya “Dia” bentuknya menjadi cogitat.

Perbedaannya, dalam bahasa Latin, perubahan akhiran bunyi kata verba seperti contoh di atas menandakan perubahan subjek gramatikal, sedangkan dalam bahasa Pakkado’ perbedaan akhiran seperti pada kata mandeko dan mandeki menandakan perubahan fungsi sosial bahasa: dari yang kurang santun menjadi santun.

Iye’, Iyo

Kata lain yang menarik yaitu “Iye” dan “Iyo”. Kedua kata ini terlihat seperti hanya permainan bunyi, dan jika pun kita melihatnya begitu, saya kira ada benarnya. Permainan bunyi ini justru memperlihatkan kesantunan.

Secara denotatif, kedua kata itu berarti “Iya”. Iye’ adalah ekspresi yang menandakan bahwa antara penutur dan lawan bicara ada jarak sosial, ada hierarki, tapi bukan dalam pengertian untuk menindas tetapi untuk dihormati demi menjaga keseimbangan sosial. Sebaliknya, kata Iyo adalah ekspresi kesetaraan.

Secara sosial dan kultural, relasi yang terbangun bersifat egaliter, tidak ada jarak sosial dan hierarki, semuanya ditempatkan dalam posisi sosial yang sama yaitu setara.

Masih santunkah cara berbahasa kita hari ini?

Pada tahun 2022, di Awka, Nigeria, ada satu penelitian, judulnya “Penggunaan Strategi Kesantunan untuk Penyelesaian Konflik dalam Hubungan Pernikahan oleh Istri.” Responden dari penelitian ini adalah para istri (emak-emak) sebanyak 50 orang.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Negeri Festival

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved