Opini
Kesantunan Berbahasa Kian Meredup: Refleksi di Bulan Bahasa dan Sastra
Bahasa menjadi jembatan yang menghubungkan manusia Indonesia dalam satu kesadaran nasional.
Konsep kesantunan berbahasa sering dikaitkan dengan istilah face atau muka. Apa itu muka? Brown and Levinson, dua ahli bahasa yang banyak meneliti tentang kesantunan menyusun pengertian konsep “muka” yang diadaptasi dari Erving Goffman.
Katanya: Ini bukan tentang wajah fisik tetapi citra diri sosial yang secara inheren ingin dilihat, dihargai dan dihormati oleh orang lain dalam komunikasi.
Sekarang kita memahami bahwa kata “muka” mengacu pada citra diri atau identitas sosial seseorang yang perlu dijaga lewat bahasa.
Konsep ini dibagi menjadi dua: muka positif dan muka negatif. Muka positif berkaitan dengan keinginan orang untuk dihargai, dihormati, dan disukai.
Misalnya, memuji, menyapa dengan hormat, memberi dukungan atau mengucapkan terima kasih.
Sedangkan muka negatif berkaitan dengan keinginan orang untuk tidak diganggu, tidak dipaksa, dan kebebasannya dihargai.
Intinya semua orang ingin diperlakukan secara santun—fitrahnya memang begitu.
Iko, Kita’
Sekarang, mari kita kaitkan dengan kata ganti iko dan kita’ dalam bahasa Pakkado’ (orang yang berbicara “saya”/dialek) yang paralel dengan kamu, engkau, anda dalam bahasa Indonesia, dan juga you dalam bahasa Inggris.
Kedua kata ini sama-sama menunjuk orang kedua tunggal tetapi memperlihatkan fungsi sosial yang berbeda. Iko dipakai untuk menyapa orang yang sebaya, lebih muda atau ada relasi keakraban.
Namun menjadi tidak santun jika ditujukan kepada orang yang lebih tua. Sebaliknya kita’—dengan tanda glottal di akhir untuk membedakannya dengan kata kita dalam bahasa Indonesia—dipakai untuk menyapa orang yang lebih tua sebagai bentuk kesantunan dan penghormatan.
Tujuannya untuk meminimalkan ancaman terhadap muka lawan bicara. Pengabaian terhadap nilai ini berpotensi menimbulkan konflik terutama jika ada perbedaan usia, status, dan posisi sosial.
Meskipun sebagian orang mungkin menganggapnya sepele, “untuk apa santun-santun? Sepenting apa dihormati? Sesungguhnya kesantunan adalah modal sosial untuk menguatkan kohesi dan menjaga budaya.
Bukan untuk terlihat baik, melainkan ini bentuk empati, perhatian dan menjadi manusia seutuhnya. Mengabaikan ini, menyebabkan kata-kata menjadi kasar, perseteruan mudah muncul, dan relasi sosial bisa retak. Inilah pendidikan bahasa yang sering kali dilupakan.
Dalam konteks menjaga identitas budaya, Iko dan kita’ bukan lagi sekadar kata, tapi soal kesadaran terhadap nilai-nilai luhur yang diwariskan, dan soal pendidikan karakter yang diselipkan dalam bahasa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.