Opini

Menjaga Marwah Profesor : Antara Integritas Akademik dan Perlindungan Hukum

Plagiarisme, jika benar terbukti, jelas bertentangan dengan nilai kejujuran akademik.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H.,M.H.
Guru Besar UNS Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H.,M.H. 

oleh: Sunny Ummul Firdaus
(Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum 
Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Isu pencabutan Surat Keputusan (SK) jabatan profesor terhadap sejumlah dosen karena dugaan plagiarisme menyedot perhatian publik.

Profesor bukan sekadar jabatan fungsional tertinggi dalam dunia akademik, tetapi juga simbol otoritas ilmu pengetahuan.

Karena itu, ketika kasus ini mencuat, publik merespons dengan perasaan campur aduk: ada kekecewaan atas dugaan pelanggaran integritas, sekaligus pertanyaan kritis mengenai keadilan prosedur yang ditempuh pemerintah.

Integritas Akademik sebagai Pilar

Plagiarisme, jika benar terbukti, jelas bertentangan dengan nilai kejujuran akademik.

Bagi masyarakat, tindakan tegas pemerintah dipandang sebagai upaya menjaga marwah profesor sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap pendidikan tinggi.

Integritas akademik memang harus menjadi pilar, karena kualitas bangsa tidak bisa dibangun di atas fondasi karya ilmiah yang rapuh.

Negara dan Kewenangannya

Konstitusi memberi negara kewajiban menyelenggarakan pendidikan (Pasal 31 UUD 1945).

Kewajiban ini melahirkan kewenangan bagi pemerintah, melalui kementerian, untuk mengangkat sekaligus mencabut jabatan akademik.

Namun dalam negara hukum, kewenangan tersebut tidak boleh dijalankan sewenang-wenang.

Prinsip due process of law harus tetap dijaga: ada dasar hukum yang jelas, ada prosedur transparan, dan ada ruang pembelaan diri bagi mereka yang dituduh.

Prinsip Due Process of Law

Setiap pencabutan SK profesor, betapapun serius alasan yang melatarbelakanginya, harus ditempatkan dalam bingkai due process of law. 

Prinsip ini menuntut agar tindakan pemerintah selalu berdasar pada hukum dan dijalankan secara adil.

Pertama, legalitas menjadi syarat mutlak: setiap keputusan pencabutan harus memiliki dasar hukum tertulis yang jelas, sehingga tidak lahir dari kehendak sepihak.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas harus dijaga, sebab proses yang tertutup dan sulit dipertanggungjawabkan justru akan menimbulkan keraguan publik terhadap keabsahan keputusan.

Ketiga, hak untuk membela diri adalah elemen esensial. Profesor yang dituduh melakukan plagiarisme berhak menyampaikan keterangan, menghadirkan bukti, dan memperoleh pendampingan hukum.

Tanpa ruang ini, pencabutan SK bisa dipandang melanggar prinsip keadilan.

Keempat, putusan harus berbasis bukti sahih, bukan sekadar opini publik atau tekanan sosial. 

Pemeriksaan yang obyektif menjadi landasan agar keputusan administratif benar-benar mencerminkan kebenaran, bukan sekadar reaksi atas desakan.

Dengan menjunjung tinggi due process of law, pencabutan SK profesor tidak hanya menjadi tindakan administratif, tetapi juga mencerminkan komitmen negara untuk menjaga keseimbangan antara penegakan integritas akademik dan penghormatan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.

Perlindungan Hukum bagi Semua

Di balik sorotan publik, ada banyak pihak yang berkepentingan dan semuanya membutuhkan perlindungan hukum.

  • Profesor yang dicabut SK-nya berhak atas proses yang adil, kesempatan membela diri, dan mekanisme keberatan atau banding melalui jalur hukum administratif.
  • Mahasiswa yang karyanya dipakai berhak atas pengakuan, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan kepastian bahwa karya ilmiah mereka tidak disalahgunakan.
  • Universitas berkepentingan menjaga reputasi dan tidak bisa serta-merta dicap gagal tanpa melihat konteks dan upaya pembenahan internal.
  • Pemerintah juga perlu dilindungi dari tuduhan penyalahgunaan wewenang, sehingga setiap keputusan harus terdokumentasi, akuntabel, dan bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum maupun publik.

Menjaga Keseimbangan

Kasus pencabutan profesor ini mengajarkan bahwa integritas akademik dan perlindungan hukum bukanlah dua hal yang saling menegasikan, melainkan harus berjalan beriringan.

Penegakan integritas tanpa perlindungan hukum bisa melahirkan ketidakadilan.

Sebaliknya, perlindungan hukum tanpa komitmen integritas akan mengikis marwah akademik.

Menjaga marwah profesor berarti menjaga dua hal sekaligus: integritas ilmu pengetahuan dan keadilan hukum.

Negara harus tegas menindak plagiarisme, tetapi pada saat yang sama wajib memastikan bahwa setiap keputusan diambil melalui prosedur yang sah, transparan, dan adil.

Dengan keseimbangan ini, kepercayaan publik terhadap pendidikan tinggi dapat tetap terjaga, dan dunia akademik Indonesia bisa terus berkembang tanpa kehilangan martabatnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kepala Sekolah Idealis atau Pragmatis?

 

Sekolah Layak, Pendidikan Bermartabat

 

Ziarah Intelektual

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved