Utang Kereta Cepat

LOHPU: Regulasi Proyek Kereta Cepat Bertentangan, Menkeu Wajar Menolak Bayar Utang Pakai APBN

Menurutnya, sejumlah aturan lama masih berlaku, termasuk Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 59 Tahun 1972.

Editor: Nurhadi Hasbi
Istimewa
RUU DANANTARA - Direktur Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) Aco Hatta Kainang 

TRIBUN-SULBAR.COM – Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) menilai regulasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung saling bertentangan.

Polemik pembayaran utang ke China Development Bank (CDB) pun dinilai wajar terjadi.

“Menteri Keuangan punya dasar hukum kuat untuk menolak penggunaan APBN dalam pembayaran utang proyek kereta cepat,” kata Direktur LOHPU, Aco Hatta Kainang, dalam siaran pers yang diterima Tribun-Sulbar.com, Jumat (17/10/2025).

Baca juga: LOHPU: Revisi UU P2SK Harus Perkuat Independensi BI, Calon Gubernur Tak Perlu Persetujuan DPR

Menurutnya, sejumlah aturan lama masih berlaku, termasuk Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 59 Tahun 1972.

Dalam Pasal 7 Ayat 1 keppres tersebut disebutkan, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan memiliki peran dalam penatausahaan dan pengawasan atas penerimaan kredit luar negeri.

“Pasal 3 Keppres itu juga tegas melarang BUMN menerima kredit luar negeri yang disertai jaminan pemerintah atau menimbulkan kewajiban fiskal bagi negara,” ujar Aco.

Namun, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat pada awalnya menyatakan tidak menggunakan APBN dan jaminan pemerintah. 

Tapi belakangan, Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang merevisi aturan tersebut justru membuka celah penggunaan APBN.

“Pasal 4 Ayat 3 huruf a dan b dan Pasal 6 Perpres 93 Tahun 2021 jelas bertolak belakang dengan Keppres 59 Tahun 1972 yang belum pernah dicabut. Ini menimbulkan konflik regulasi,” tambahnya.

LOHPU juga menyoroti peran BP Danantara, holding BUMN yang kini meminta Kementerian Keuangan melakukan pembayaran utang proyek tersebut.

Di sisi lain, Menteri Keuangan menolak dan menyarankan penyelesaian di luar APBN.

“Ini menyangkut performa negara dalam membayar utang luar negeri. Maka Presiden perlu turun tangan langsung untuk menelaah dan mengambil sikap,” tegas Aco.

LOHPU juga menyarankan BP Danantara mengajukan permohonan sengketa kewenangan antarlembaga ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meskipun BP Danantara bukan lembaga negara dalam UUD 1945, status hukumnya diatur dalam undang-undang.

“Kami berharap MK bisa membuat terobosan hukum. Ini soal kejelasan siapa yang berwenang membayar, apakah BP Danantara atau Menteri Keuangan,” pungkas Aco.

Selain itu, LOHPU juga mempertanyakan pelaksanaan gearing ratio dalam PMK Nomor 89 Tahun 2023 yang mengatur tata cara pemberian pinjaman kepada Badan Usaha Penjamin Infrastruktur (BUPI).

LOHPU menilai penyelesaian hukum dan kebijakan yang tegas sangat diperlukan untuk menghindari konflik berlarut dan kerugian negara.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved