Polemik KUHAP

PMII Mamuju Tolak KUHAP Baru, Dinilai Beri Ruang Penyalahgunaan Wewenang Penyidik

Selain partisipasi publik yang lemah, rancangan itu dianggap mengancam prinsip keadilan dan perlindungan hak warga.

|
Editor: Nurhadi Hasbi
Refli Sakti Sanjaya
Ketua Umum PMII Cabang Mamuju Sulawesi Barat 
Ringkasan Berita:
  • PMII Mamuju menolak revisi KUHAP karena dianggap minim melibatkan masyarakat sipil.
  • Sejumlah pasal dinilai membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh penyidik APH.
  • PMII meminta revisi KUHAP dievaluasi ulang dan tidak disahkan sebelum menjamin perlindungan hak warga.

 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Mamuju, menolak rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketua PMII Mamuju, Refli Sakti Sanjaya, menyebut revisi tersebut minim pelibatan partisipasi masyarakat sipil.

Ia menilai sejumlah pasal dalam draft revisi KUHAP membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh penyidik aparat penegak hukum.

Baca juga: Dosen Unsulbar: Hukum Kuat Jika Lahir dari Proses Adil dan Partisipatif

Salah satu pasal yang disoroti adalah Pasal 5 ayat 2 huruf (a). 
Dalam pasal itu, tindakan penangkapan, larangan bepergian, penggeledahan hingga penahanan dapat dilakukan atas perintah penyidik.

Menurut Sakti, klausul tersebut tidak memiliki batasan jelas. 
Kondisi itu berpotensi memberi “karpet merah” bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Ia menegaskan, PMII Mamuju menolak pengesahan revisi KUHAP menjadi undang-undang.

Selain partisipasi publik yang lemah, rancangan itu dianggap mengancam prinsip keadilan dan perlindungan hak warga.

“Revisi ini harus dievaluasi ulang," tegasnya.

Partisipasi publik, oleh banyak pakar hukm dinilai sebagai elemen tersebut yang memegang peran krusial dalam penyusunan produk hukum.

Dosen Ilmu Hukum Unsulbar Mutmainnah Syam mengatakan, proses legislasi tergesa-gesa dan minim partisipasi terhadap lahirnya sebuah produk hukum bermakna, meningkatkan risiko judicial review.

"Hukum itu hanya kuat kalau lahir lewat proses yang adil dan partisipatif," kata Mutmainnah kepada Tribun-Sulbar.com, Sabtu (22/11/2025).

Ia menambahkan, dalam perspektif Hukum Tata Negara, partisipasi publik bukan sekadar etika pembuatan undang-undang, tetapi kewajiban konstitusional.

"Itu yang penting dipahami oleh pembuat undang-undang," pungkas dosen muda alumnus UIN Alauddin Makassar itu.

Meski mendapat banyak sorotan, pemerintah menegaskan, KUHAP baru akan memperkuat sistem peradilan pidana dan mempercepat penegakan hukum di Indonesia.(*)

Sumber: Tribun sulbar
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved