Opini

Tidak Tabu Menghitung Upah Guru 

Editor: Ilham Mulyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Mukhlis Mustofa, Dosen PGSD FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakartat

Kisah upah guru merupakan epos abadi serba tidak pasti dan  mencuat tanpa ada solusi tepat. 

Pengeluaran  beragam kebijakan diiktiarkan untuk peningkatan kesejahteraan hasilnya masih belum menggembirakan. 

Carut marut penyikapan Guru honorer ini tidak lepas dari kondisi masih adanya penyikapan serba njomplang pada korps pendidik ini. 

Layaknya mobil Guru honorer tidak ubahnya “bemper” pendidikan manakala permasalahan kesejahteraan ini mengemuka. 

Ambigiutas peran menjadi pintu masuknya, mempersepsikan sebagai Tenaga kerja guru honorer tidak termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sementara manakala dipersepsikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru honorer tidak bisa diakmodir mengingat UU tersebut hanyalah mengatur Guru ASN dan Guru Tetap  Ketidak jelasan pola kepegawaian dan Ketidakberimbangan pensejahteraan guru hingga menumbuhkan apatisme dikalangan guru honorer untuk memperbaiki kesejahteraan. 

Kontradiksi profesi 

Pembahasan kesejahteraan dikalangan guru menyisakan beragam penyikapan. Disatu sisi Guru ASN dikaruniai kesejahteraan serba spektakuler disisi lain guru honorer  senantiasa ngiler terhadap kondisi serba tidak imbang. 

Tupoksi boleh sama namun kesejahteraan sangat berbeda. Kondisi ini diperparah dengan minimnya keberpihakan pada guru swasta.  

Efek domino sertifikasi guru pun tak pelak menjadi sarana marginalisasi  bagi honorer , ketentuan guru profesional untuk mengajar 24 jam/minggu hingga kebijakan beban kerja guru selama 40jam/minggu secara tidak langsung berpengaruh bagi  guru honorer. 

Kondisi dilapangan menunjukkan diterapkannya besaran jam mengajar bagi guru profesional ditafsirkan dengan memotong jam mengajar guru honorer  karena guru profesional sangat membutuhkan jam mengajar sehingga langkah praktisnya mengurangi jam mengajar guru honorer . 

Pemotongan jam mengajar ini tidak ubahnya kanibalisasi profesi, mengingat sistem penggajiannya diperoleh dari besaran jam mengajar perminggu. 

Permasalahan honorer  selama ini secara tidak langsung bermuara pada adanya diskriminasi profesi berbasis penghasilan. 

Fenomena  ini muncul dari belum adanya standarisasi gaji. Dibalik hiruk pikuk penetapan UMK (Upah Minimum Kabupaten/kota), honorer  patut mengelus dada. 

Bagaimana mungkin seorang guru yang menjalankan amanah mencerdaskan anak bangsa tingkat penghasilannya dibawah pekerja yang menghadapi mesin. 

Bukannya merendahkan profesi buruh pabrik, namun logika yang berkembang, jika untuk pekerja yang menghadapi mesin pemerintah mau membuka mata namun mengapa bagi pekerja yang menghadapi siswa dengan tingkat dinamisasi beragam penghargaannya masih memprihatinkan. 

Halaman
1234