Opini

Tidak Tabu Menghitung Upah Guru 

Editor: Ilham Mulyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Mukhlis Mustofa, Dosen PGSD FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakartat

Oleh: Mukhlis Mustofa

Dosen Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar ( PGSD )  Universitas Slamet Riyadi ( UNISRI ) Solo

TRIBUN-SULBAR.COM - Sorotan viral di media sosial terkait pernyataan Menteri keuangan tentang persepsi profesi guru sebagai beban menarik ditelaah mendalam. 

Walaupun Pernyataan tersebut diindikasikan hasil olahan bebasis Artificial Intellegence ( AI ) terkait Sorotan rendahnya gaji guru di Tanah Air terus menggelinding. 

Permasalahan kelayakan gaji guru bukanlah hal baru namun senantiasa up to date untuk dicermati walaupun berakhir basa basi. 

Upah Minimum Guru dalam hal ini Non ASN ( Aparatur Sipil Negaa ) masih terkesan diskriminatifnya sisi penghargaan sang pengawal kecerdasan anak negeri ini. 

Pemberitaan tersebut sebuah kajian menarik ditengah carut marut revisi Rancangan Undang-undang Sisdiknas (RUU  sisdiknas ) dengan penerjemahan penghapusan tunjangan profesi realitas pada kenyataan belum sepenuhnya dinikmati selutuh korps pendidik negeri ini.  

Fenomena tersebut sedemikian nyata bagi korps pendidik, jangankan menyuarakan kesetaraan, hakikatnya.

Guru tabu menagih upah hingga saat ini menjadi perspektif sistem keguruan negeri ini sehingga pensejahteraannya serba tidak berimbang. 

Memperbincangkan upah guru namun mengesampingkan status kepegawaian tidak ubahnya memaparkan beragam derita tak berkesudahan. 

Fenomena ini tidak lepas dari kondisi dimana masih terdapat penyikapan serba njomplang pada korps pendidik ini. 

Pembedaan status secara tidak langsung mengentalkan nuansa kastaninasi guru, Muara akhir kastanisasi guru ini berkaitan erat dengan penerimaan pensejahteraannya. 

Dalam tulisan ini saya menyebut guru non ASN dan non sertifikasi sebagai guru Honorer dimanan subtansi materi nya terliha. 

Tanpa disadari realisnya Ketidakberimbangan pensejahteraan guru berlangsung sedemikian lama hingga menumbuhkan apatisme dikalangan tenaga pendidik untuk memperbaiki kesejahteraan.

Masih terdapatnya guru honorer yakni Zuhdi dibayar Rp450.000/bulan seperti terlansir yang mengalmi masalah dengan siswa adalah kali kesekian  tertundanya minimnya  pensejahteraan kaum pengajar ini untuk sekedar menikmanti manisnya  kualitas hidup. 

Halaman
1234