Opini

Ekspansi Iman dan Batas Kemanusiaan

Editor: Ilham Mulyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sulbar, Nur Salim Ismail.

Di sinilah letak batas kemanusiaan. 

Agama memang boleh membawa misi ekspansi, tetapi ekspansi itu tidak boleh melanggar kebebasan iman orang lain. 

Karena iman yang lahir dari paksaan bukanlah iman, melainkan sekadar keterpaksaan. 

Batas kemanusiaan mengingatkan kita bahwa ada ruang yang tidak dapat diganggu: hak setiap manusia untuk berketuhanan menurut jalannya.

Filsuf Jürgen Habermas pernah menyinggung bahwa dunia modern kini memasuki fase post-secular society. 

Agama, menurutnya, tetap relevan hadir di ruang publik, tetapi mesti bersedia berkomunikasi dengan bahasa yang dapat dipahami lintas iman dan nalar universal. 

Artinya, dakwah tidak boleh hanya mengandaikan penerimaan total atas keyakinan tertentu, melainkan juga membuka ruang dialog, argumentasi, dan koeksistensi.

Pandangan ini sejalan dengan gagasan teolog Hans Küng tentang Global Ethic. 

Ia menekankan bahwa semua agama, meski berbeda doktrin dan ritus, memiliki basis etika bersama: penghormatan martabat manusia, keadilan, dan larangan kekerasan. 

Maka, ekspansi iman bukan pertama-tama tentang merebut pengikut, melainkan menguatkan komitmen bersama menjaga kehidupan.

Persoalan kita hari ini semakin kompleks karena ekspansi iman tidak lagi berjalan melalui mimbar dan podium semata, tetapi juga melalui media sosial, algoritma digital, dan jejaring global. 

Dakwah kini bisa menjangkau jutaan orang hanya dengan satu unggahan video. 

Homili bisa melintas batas negara hanya dengan sekali siaran daring. 

Tetapi di balik itu, ada pula risiko polarisasi: ujaran kebencian, klaim kebenaran tunggal, bahkan ujaran yang merendahkan iman lain. 

Ekspansi iman di ruang digital ini menuntut kedewasaan baru: bahwa setiap kata yang dilemparkan ke ruang maya bisa berdampak pada harmoni nyata di ruang sosial.

Halaman
123