TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Massa Aliansi Rakyat Tolak Tambang Pasir, membubakan diri setelah bertahan selama 12 jam di kompleks Kantor Gubernur Sulawesi Barat, Jl H Abd Malik Pettanna Endeng, Kelurahan Rangas, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Senin (5/5/2025) pukul 22.20 WITA.
Massa meninggalkan lokasi demo setelah Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka (SDK), melalui Pelaksana Harian (Plh) Sekretaris Provinsi (Sekprov) Herdin Ismail, menyatakan kesediaannya berdialog langsung dengan warga sepulang dari Jakarta pada 8 Mei 2025 mendatang.
Jendral lapangan aksi, Sulkarnain, mengatakan, mereka membubarkan diri atas dasar itikad baik dari pihak gubernur.
Baca juga: Aksi Penolakan Tambang di Sulbar Memanas, Helm Polisi Jadi Rebutan Massa Aksi
Tetapi, Sulkarnain memperingatkan, massa akan kembali dengan jumlah lebih besar jika janji gubernur tidak ditepati.
“Sesuai isi surat yang ditandatangani Plh Sekda, Pak SDK akan menemui kami setelah kembali dari Jakarta. Jika tidak dipenuhi, kami akan kembali turun aksi dengan massa lebih besar,” kata Sulkarnain.
Ia menambahkan, dialog yang dijanjikan merupakan kesempatan bagi warga untuk menyampaikan langsung keberatan mereka terhadap aktivitas tambang pasir yang dinilai merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
Ia menyebut, gubernur telah membuka ruang pembuktian terhadap dugaan cacat hukum dan prosedural dalam penerbitan izin perusahaan tambang.
Jika terbukti, izinnya akan dicabut.
“Sudah ada benang merah. Gubernur membuka ruang diskusi dan siap mencabut izin jika warga bisa membuktikan adanya kesalahan dari perusahaan seperti PT ASR dan PT Jaya Pasir Andalan,” ujarnya.
Selama aksi berlangsung, massa menuntut pencabutan izin tiga perusahaan tambang pasir di Sulawesi Barat:
1. PT Jaya Pasir Andalan – beroperasi di Kalukku Barat dan Beru-Beru (Mamuju)
2. PT Alam Sumber Rezeki (ASR) – beroperasi di Karossa (Mamuju Tengah)
3. CV Sinar Harapan – beroperasi di Saraja (Pasangkayu)
Mereka menilai proses penerbitan izin tambang cacat hukum dan tidak melibatkan persetujuan warga.
Lebih parahnya lagi, warga mengaku tanda tangan mereka dipalsukan.