Sementara ayah kedua anak ini, Munir mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk biaya pengobatan.
Upah diperoleh sebagai buruh pembuat batu merah terkadang tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
Bahkan rumah layak sebelumnya ia tempati telah dijual untuk membiayai pengobatan kedua anaknya ini.
"Kami sudah tidak punya biaya, saya hanya bekerja sebagai pembuat bata merah dengan upah pas-pasan," ucap Munir.
Disebutkan uang hasil jual rumah juga sudah habis untuk biaya pengobatan, sebagian disisihkan membeli sepetak lahan dan belum lunas sampai saat ini.
Munir lalu membangun gubuk tempat tinggalnya, didirikan di atas lahan milik warga.
Gubuknya hanya beratapkan rumbia, terpal sebagai dinding, lantainya terdiri dari batu merah, disusun kemudian diberi pengalas.
Tidak ada barang berharga dalam gubuk keluarga kurang mampu ini, sekedar untuk alas tidur mereka hanya menggunakan karpet usang.
Munir mengaku memilih bertahan di gubuk tersebut karena sudah tidak memiliki rumah.
Lokasi gubuk yang menjadi tempat tinggalnya berdekatan dengan tempatnya bekerja saat ini.
"Sekarang sudah tidak punya rumah jadi tinggal di sini, biar lebih dekat juga dengan tempat bekerja," ucapannya.
Dia mengaku sengaja belum memindahkan status kependudukannya dari Desa Kuajang ke Desa Banato Rejo, karena khawatir kehilangan bantuan sosial jika status kependudukannya dipindahkan.
Keluarga ini sangat mengharapkan bantuan agar penyakit yang diderita kedua buah hatinya itu bisa sembuh.(*)
Laporan Wartawan Tribun-Sulbar.com, Fahrun Ramli