Julukan ini juga merujuk menara masjid berarsitek Turki Istambul yang dibangun di Masjid Imam Lapeo, di Campalagian.
Imam Lapeo alias Muhammad Thahir lahir pada 1838 Masehi di Desa Pambusuang—kini termasuk wilayah Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Ia lahir dari pasangan Haji Muhammad bin Abdul Karim dan Siti Rajiah.
Imam Lapeo diperkirakan wafat pada 1952 dalam usia 114 tahun, tepatnya pada 27 Ramadhan 1362 Hijriah.
Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagiang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Jenazahnya dimakamkan di halaman Masjid Nur al-Taubah, yang masyarakat Mandar sebut pula sebagai Masjid (Masigi) Lapeo.
Pada saat berusia 27 tahun, Imam Lapeo dijodohkan oleh seorang gurunya, Sayyid Alwi Jamaluddin bin Sahil. Ulama besar asal Yaman itu menikahkannya dengan seorang gadis bernama Hagiyah.
Perempuan ini lalu berganti nama menjadi Rugayyah.
Sejak itulah, nama Imam Lapeo pun diganti oleh Sayyid Alwi menjadi Muhammad Thahir.
Menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah). Caranya dilakukan secara bijaksana, tanpa paksaan. Orang-orang pun merasa diingatkan, alih-alih digurui. Mereka tersadar akan kekeliruannyaselama ini sehingga berkomitmen untuk menjadi Muslim yang taat.
Ada banyak karomah dan kemuliaan Imam Lapeo. Sebagian Warga Mandar meyakininya sebagai salah satu wali.
Setiap masyarakat kampung yang didatanginya dianjurkan agar mereka membangun masjid atau mushala. Bangunan itu difungsikan tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga pusat pendidikan agama.
Ia juga membangun masjid di Lapeo. Majelis ilmu yang digelarnya di sana diikuti banyak jamaah. Murid-muridnya berasal dari pelbagai daerah, termasuk kawasan pelosok Sulawesi.
Pada akhirnya, anak didiknya itu tumbuh menjadi dai-dai yang tangguh. Melalui kerja kerasnya, pembaruan Islam pun menggema ke seantero Tanah Mandar. (*)