TRIBUN-SULBAR.COM, POLEWALI -- Warga Polewali Mandar di Sulawesi Barat (Sulbar), Selasa (2/7/2024) berduka.
Hajjah Nurlina Binti Muchsin, cucu pertama tokoh sufi asal Tanah Mandar Annangguru Kiai Haji Muhammad Thahir atau akrab disapa Imam Lapeo (1838-1952), meninggal dunia dengan tenang di kediamannya di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagian, sekitar 19,5 km utara Polewali Mandar, kabupaten utama di Sulawesi Barat.
Kabar duka ini dikonfirmasi terpisah dua kerabatnya; Dr Dalililul Falihin MA (putra almarhumah), dan Komjen Pol (purn) Syafruddin Kambo (saudara sepupu), kepada Tribun.
Hj Nurlina disemayamkan dan dimakamkan di kediaman di depan Masjid Lapeo, Campalagian.
"Almarhum, tadi disemayamkan di rumah, wafat jam 10 pagi," ujar Dalilul Falihin, putra almarhumah yang juga Imam Masjid Kampus UNM Makassar.
Hj Nurlina adalah anak dari H Muhsin thahir bin Muhammad Thahir Imam Lapeo.
Baca juga: Jenazah Alm Nurlinah Muhsin Thahir Cucu Imam Lapeo Rencananya Dimakamkan di Samping Sang Kakek
Baca juga: BREAKING NEWS Innalillahi Wainnailaihi Rajiun Cucu Imam Lapeo Nurlinah Muhsin Thahir Meninggal Dunia
Puang Nurlina, sapaan almarhumah adalah suami dari H Lahmuddin Bin Badaw.
Dia meninggalkan enam anak; Hj Nafisah Abdillah Mandar, Ahmad Saihu, Nuramilang, Hayatunnufus,
Dalilul Falihin dan si bungsu Khairil Anwar.
Hingga siang tadi, ribuan warga memadati rumah duka.
Arus kendaraan di Jalan Poros Polman - Majene, macet.
"Sampai 2 km macetnya," ujar Hasan, salah seorang warga Campa.
Imam Lapeo, kakek almarhumah adalah salah satu ulama berpengaruh di Sulawesi, khususnya di Jazirah Teluk Mandar.
Selain l Imam Lapeo, To Salamaka dan Anronggurutta, KH Muhammad Thahir juga dikenal warga dengan sebutan Kannai Tambul.
Sapaan terakhir ini, karena Imam Lapeo di akhir abad 19 pernah menuntut ilmu agama di Arab Saudi, dan memperdalam ilmu tasawwuf di Istanbul Turki.
Julukan ini juga merujuk menara masjid berarsitek Turki Istambul yang dibangun di Masjid Imam Lapeo, di Campalagian.
Imam Lapeo alias Muhammad Thahir lahir pada 1838 Masehi di Desa Pambusuang—kini termasuk wilayah Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Ia lahir dari pasangan Haji Muhammad bin Abdul Karim dan Siti Rajiah.
Imam Lapeo diperkirakan wafat pada 1952 dalam usia 114 tahun, tepatnya pada 27 Ramadhan 1362 Hijriah.
Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagiang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Jenazahnya dimakamkan di halaman Masjid Nur al-Taubah, yang masyarakat Mandar sebut pula sebagai Masjid (Masigi) Lapeo.
Pada saat berusia 27 tahun, Imam Lapeo dijodohkan oleh seorang gurunya, Sayyid Alwi Jamaluddin bin Sahil. Ulama besar asal Yaman itu menikahkannya dengan seorang gadis bernama Hagiyah.
Perempuan ini lalu berganti nama menjadi Rugayyah.
Sejak itulah, nama Imam Lapeo pun diganti oleh Sayyid Alwi menjadi Muhammad Thahir.
Menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah). Caranya dilakukan secara bijaksana, tanpa paksaan. Orang-orang pun merasa diingatkan, alih-alih digurui. Mereka tersadar akan kekeliruannyaselama ini sehingga berkomitmen untuk menjadi Muslim yang taat.
Ada banyak karomah dan kemuliaan Imam Lapeo. Sebagian Warga Mandar meyakininya sebagai salah satu wali.
Setiap masyarakat kampung yang didatanginya dianjurkan agar mereka membangun masjid atau mushala. Bangunan itu difungsikan tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga pusat pendidikan agama.
Ia juga membangun masjid di Lapeo. Majelis ilmu yang digelarnya di sana diikuti banyak jamaah. Murid-muridnya berasal dari pelbagai daerah, termasuk kawasan pelosok Sulawesi.
Pada akhirnya, anak didiknya itu tumbuh menjadi dai-dai yang tangguh. Melalui kerja kerasnya, pembaruan Islam pun menggema ke seantero Tanah Mandar. (*)