Hal ini yang terjadi pada aktivitas gempa yang berada di wilayah Pasangkayu.
Akumulasi energi yang terjadi di sebelah barat Pulau Sulawesi diakibatkan oleh pelepasan energi dari patahan naik Pantai Barat Sulawesi atau yang lebih sering dikenal sebagai Makassar-strait Fault.
Berbeda ceritanya pada wilayah Mamasa yang mengalami serangkaian gempabumi dangkal dengan intensitas kejadian yang sangat tinggi. Dari hasil pengamatan Stasiun Geofisika Gowa, tercatat telah terjadi 130 kejadian gempabumi selama tahun 2023 di wilayah Mamasa.
Hal ini masih ada kaitannya dengan kejadian gempabumi swarm pada tahun 2018 dan tahun 2021 di wilayah Mamasa. Pada umumnya, penyebab terjadinya gempa swarm berkaitan dengan transportasi fluida, intrusi magma, atau migrasi magma.
Pada kasus gempabumi Mamasa, sesar pembangkitnya merupakan sesar Saddang yang merupakan jenis sesar mendatar mengiri (sinistral strike-slip). Gerakan sesar mendatar ini dapat memicu aktivitas seismic jauh lebih sering dibandingkan dengan jenis sesar lainnya.
Selain itu, jika terdapat reservoir air, maka dapat memicu gempabumi swarm hingga berbulan-bulan. Karena gempa-gempa yang berada di wilayah Mamasa sangat dangkal, sehingga menyebabkan gempa dirasakan jauh lebih sering muncul di wilayah Mamasa-Majene.
Hal ini karena energi getaran yang disalurkan dari pusat gempabumi terlampau sangat dekat dengan permukaan.
Wilayah Sulawesi Barat dengan struktur dan tatanan tektonik yang kompleks membuat wilayah ini memiliki aktivitas seismisitas yang tinggi. Meskipun demikian, tidak semua gempabumi yang tercatat pada sensor dapat dirasakan oleh masyarakat di permukaan, sehingga perlu disikapi dengan bijak. (*)