Opini
Demo Bubarkan DPR 25 Agustus: Antara Kekecewaan Publik dan Urgensi Reformasi Legislatif
Di tengah situasi politik memang kurang kondisif. Terlepas dari itu semua, kita menelaah nilai positif dari tuntutan bubarkan DPR.
Namun, fakta bahwa DPR tidak bisa dibubarkan tidak berarti publik tidak berhak marah.
Justru, demonstrasi menjadi alarm keras tentang krisis kepercayaan rakyat.
Sayangnya, masalah ini tidak hanya terjadi di pusat, tapi juga mulai merembet ke faerah menyoal DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Krisis Kepercayaan: DPR dan DPRD dinilai Sama-sama Gagal
DPR Pusat: Fasilitas Tinggi, Empati Rendah
Kabar kenaikan tunjangan DPR menimbulkan jurang psikologis antara rakyat dan wakilnya.
Meskipun pimpinan DPR berdalih bahwa yang naik hanya tunjangan, bukan gaji pokok, persepsi publik sudah terbentuk: DPR lebih sibuk mengurus kenyamanan sendiri dibanding nasib rakyat.
Bahkan, gaya hidup hedon sebagian anggota DPR, mulai dari joget di sidang hingga pamer kemewahan di media sosial, semakin memperlebar jarak dengan publik.
DPRD: Fungsi Terkikis Pasca UU 23/2014
Kekecewaan publik juga merembet ke DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Pasca UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, peran DPRD cenderung dikerdilkan:
Kewenangan anggaran melemah, peran DPRD dalam pembahasan APBD semakin terbatas.
Banyak Perda dibatalkan pusat, otonomi daerah menjadi semu, DPRD kehilangan pengaruh legislasi.
Fungsi pengawasan melemah, banyak DPRD gagal mengontrol kepala daerah karena kompromi politik dan kepentingan pragmatis.
Ironisnya, meski peran DPRD melemah, tunjangan mereka tetap fantastis.
Di beberapa daerah, anggota DPRD menerima Rp35–45 juta per bulan melalui gaji, tunjangan rumah, transportasi, komunikasi, dan reses.
Namun, kinerja mereka tidak sebanding dengan beban anggaran rakyat
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.