Opini
Gerakan “Ayah Mengantar Anak ke Sekolah”: Antara Niat Baik dan Suara-suara yang Perlu Didengar
Semua bergantung pada bagaimana kita sebagai orang dewasa menyikapi dan merespons situasi ini.
Oleh: Irna Megawaty, S.Kep.,Ns.,M.Kep
WACANA tentang "Gerakan Ayah Mengantar Anak ke Sekolah" belakangan menjadi pembahasan hangat di ruang-ruang publik.
Di satu sisi, ini merupakan angin segar, sebuah upaya untuk mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, yang selama ini kerap dibebankan hampir sepenuhnya kepada ibu.
Secara pribadi, saya memandang gerakan ini bukan sekadar ajang seremonial, tetapi langkah awal yang baik untuk memperkuat relasi emosional antara ayah dan anak sejak dini.
Ini adalah bentuk sederhana dari kehadiran yang bermakna.
Sejumlah studi telah membuktikan, keterlibatan aktif kedua orang tua dalam pengasuhan dapat membentuk anak yang lebih percaya diri, memiliki regulasi emosi yang baik, dan mampu menjalin hubungan sosial yang lebih sehat (Lamb, 2010; Sarkadi et al., 2008).
Bahkan hanya sekadar mengantar anak ke sekolah, dapat menjadi simbol kasih sayang yang sederhana, namun kuat.
Namun, perlu kita sadari, tidak semua anak memiliki sosok ayah yang hadir secara fisik.
Ada anak yang ditinggal wafat, orang tua yang bercerai, atau ayah yang bekerja jauh dari rumah.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah gerakan semacam ini bisa melukai perasaan anak-anak tersebut?
Jawabannya: bisa iya, bisa tidak.
Semua bergantung pada bagaimana kita sebagai orang dewasa menyikapi dan merespons situasi ini.
Anak yang kehilangan figur ayah karena berbagai sebab memiliki kerentanan emosional tersendiri.
Perasaan berbeda atau "kurang" bisa muncul ketika mereka melihat teman-temannya diantar oleh sang ayah.
Namun, menurut teori coping dari Lazarus dan Folkman (1984), anak-anak memiliki mekanisme adaptasi yang disebut coping mechanism—baik dalam bentuk pengelolaan emosi (emotion-focused coping) maupun pendekatan berbasis solusi (problem-focused coping).
Penelitian Martin dan Jackson (2002) menunjukkan, figur pengasuh alternatif seperti ibu, kakek, paman, atau guru, dapat berperan penting dalam mengisi kekosongan peran ayah, dan membantu anak melewati fase transisi emosional dengan lebih stabil.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.