Citizen Reporter
Potret Derita Warga Lalampanua Akibat Tambang Galian C di Banua Adolang Majene
sejak aktivitas tambang ini bergulir, lahan perkebunan, tambak, hingga lingkungan hidup di sekitar lokasi menjadi korban yang tak berdaya.
Citizen Reporter
Oleh: Asnawi
Direktur WALHI Sulawesi Barat
TRIBUN-SULBAR.COM - "Kami, WALHI Sulawesi Barat, akan terus berdiri bersama rakyat. Kami akan mengawal, mendampingi, dan memperjuangkan hak-hak warga yang selama ini diabaikan. Karena bumi, air, dan kekayaan alam bukan hanya untuk segelintir orang, tapi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujar Asnawi, Direktur WALHI Sulawesi Barat, terkait aktivitas tambang galian C di Desa Banua Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat
Kata Asnawi, sejak hadirnya aktivitas tambang galian C yang dijalankan oleh PT Cadas Industri Azelia Mekar, derita warga setempat, khususnya masyarakat Kelurahan Lalampanua, kian menjadi-jadi.
Perusahaan ini mengantongi Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (SK IUP) Nomor 0506230044866002.
Meski demikian, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa izin legal bukanlah jaminan bahwa kehadiran tambang ini tak melukai kehidupan masyarakat.
Baca juga: Mantan Kepala Desa Onang Majene Divonis 13 Tahun Penjara Kasus Pembunuhan
Baca juga: Mantan Kepala Dinas Perkebunan Sulbar Kembalikan Mobil Ford Rp 411 Juta Kondisi Rusak Parah
Justru sebaliknya, sejak aktivitas tambang ini bergulir, lahan perkebunan, tambak, hingga lingkungan hidup di sekitar lokasi menjadi korban yang tak berdaya.
Sejak dulu, masyarakat Lalampanua hidup berdampingan dengan alam.
Mereka menggantungkan hidup dari tambak dan lahan perkebunan yang diwariskan turun-temurun.
Pisang, kelapa, dan hasil laut menjadi sumber utama penghidupan.
Namun kini, semua itu lambat laun akan hanya tinggal cerita. Aktivitas pertambangan batuan yang dilakukan oleh PT Cadas Industri Azelia Mekar telah merusak keseimbangan ekosistem di wilayah ini.
Debit air yang mengalir ke tambak warga mulai tercemar lumpur dan material tambang.
Air yang dulunya jernih kini keruh.
Hasil tambak menurun drastis. Tambak udang dan ikan yang menjadi andalan warga tak lagi produktif. Hasil panen perkebunan pun menurun akibat debu dan limbah tambang yang terbawa angin dan air.
"Sejak ada tambang, air tambak kami jadi kotor. Udang banyak mati, ikan juga tidak seperti dulu," ungkap salah satu warga Lalampanua yang kami temui.
Lebih jauh, lahan-lahan produktif yang dulunya menjadi kebun kelapa, pisang, kakao, dan berbagai tanaman pangan kini rusak karena tergerus aktivitas kendaraan berat dan pembangunan jalan jetty. Tanah yang dahulu subur kini berubah menjadi lapisan pasir bercampur lumpur yang tak lagi layak tanam.
Lebih menyakitkan, PT Cadas Industri Azelia Mekar membuka jalur untuk pembangunan jembatan jetty, sebuah fasilitas yang nantinya akan mengangkut hasil tambang ke kapal laut tanpa sepengetahuan pemerintah setempat.
Baik pihak Kelurahan Lalampanua maupun Kecamatan Pamboang mengaku tidak pernah menerima pemberitahuan ataupun surat resmi terkait pembangunan jalur tersebut.
Padahal, jalur ini melintasi kawasan tambak warga. Proses pembukaan jalan menyebabkan abrasi kecil, pergeseran tanah, hingga rusaknya sistem irigasi tradisional yang selama ini digunakan oleh warga.
Dampaknya, tambak-tambak menjadi tidak bisa difungsikan secara normal. Lebih buruk lagi, warga sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Dari hasil penelusuran WALHI Sulawesi Barat, bahkan beberapa pihak yang kami temui di instansi terkait pun mengaku tidak mengetahui apakah pembangunan jembatan jetty ini memiliki izin resmi atau tidak.
Tidak ada kejelasan mengenai dokumen izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), ataupun rekomendasi teknis dari instansi terkait.
Masalah semakin pelik ketika kita bicara soal legalitas. Memang benar, perusahaan tersebut mengantongi SK IUP resmi.
Tapi izin formal tidak serta-merta membenarkan aktivitas yang merusak ruang hidup warga dan lingkungan sekitar.
Hukum dan kebijakan seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan untuk menjadi alat legitimasi perusakan.
Di banyak kasus di Indonesia, termasuk di Sulawesi Barat, seringkali izin tambang dikeluarkan tanpa pertimbangan yang matang soal dampak ekologis dan sosialnya.
Seolah-olah surat izin menjadi tiket bebas untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa batas.
Padahal, setiap aktivitas pertambangan wajib melalui proses kajian lingkungan yang ketat, konsultasi publik, hingga persetujuan warga terdampak.
Di kasus Banua Adolang ini, fakta di lapangan menunjukkan ketimpangan besar antara apa yang tertulis di atas kertas dengan realita yang dihadapi warga. Tidak ada sosialisasi, tidak ada pemberitahuan, dan tidak ada pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
"Melihat berbagai dampak buruk yang ditimbulkan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Barat (WALHI Sulbar) dengan tegas menyatakan sikap menolak keberlanjutan aktivitas tambang ini.
"Kami mendesak pemerintah untuk segera mencabut izin yang telah diberikan kepada PT Cadas Industri Azelia Mekar. Bukan tanpa alasan, sebab kerusakan yang terjadi sudah nyata di depan mata," ujar Asnawi.
Dia menegaskan, WALHI Sulbar menilai bahwa aktivitas tambang ini bukan hanya berdampak buruk secara lingkungan, tapi juga secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Lalampanua.
Jika dibiarkan, maka kerugian jangka panjang akan jauh lebih besar daripada manfaat sesaat yang diterima oleh segelintir pihak. Kami juga meminta agar pembangunan jalan jetty dan jembatan yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan dihentikan sebelum ada kepastian izin dan kajian dampak lingkungan yang transparan, partisipatif, dan ramah lingkungan.
Pembangunan tanpa izin dan tanpa sosialisasi adalah pelanggaran serius terhadap hak masyarakat atas informasi, partisipasi, dan lingkungan hidup yang sehat.
Asnawi menerangkan, apa yang terjadi di Lalampanua sesungguhnya adalah potret kecil dari banyaknya ketidakadilan ekologis yang terjadi di negeri ini.
Pembangunan selalu berpihak kepada pemilik modal, sementara rakyat kecil hanya menjadi penonton bahkan korban di tanahnya sendiri. Warga Lalampanua tidak menolak pembangunan.
Mereka hanya ingin agar ruang hidupnya tetap lestari, anak cucu mereka masih bisa merasakan tambak yang produktif, kebun yang subur, dan udara yang bersih.
Apakah permintaan itu terlalu berlebihan? Tentu tidak.
Sudah seharusnya negara hadir melindungi rakyatnya. Sudah seharusnya pemerintah daerah dan pusat mengevaluasi setiap izin usaha pertambangan yang telah dikeluarkan, khususnya yang berpotensi merusak ruang hidup masyarakat adat, petani, dan nelayan.
Jangan sampai, demi investasi jangka pendek, kita mengorbankan keseimbangan ekologi dan kedaulatan rakyat.
WALHI Sulawesi Barat bersama warga Lalampanua tidak meminta belas kasihan. Kami menuntut keadilan. Keadilan atas hak hidup yang layak, atas ruang hidup yang lestari, dan atas proses pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Pihaknya menuntut agar aktivitas pertambangan di Banua Adolang dihentikan, izin perusahaan dicabut, dan pemerintah segera turun tangan untuk melakukan audit lingkungan.
Hasil audit ini harus diumumkan secara terbuka kepada publik. Warga berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di lingkungannya.
Pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran administratif maupun lingkungan.
Tidak boleh ada kompromi terhadap pelanggaran yang merugikan rakyat.
Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap negara akan terus tergerus. Kasus di Lalampanua bukan sekadar soal tambang, tapi soal ketimpangan, soal keadilan, dan soal hak dasar manusia atas lingkungan yang sehat.
Ketika pemerintah membiarkan aktivitas tambang yang jelas-jelas merusak tanpa mekanisme kontrol yang ketat, itu artinya negara telah abai terhadap tanggung jawab konstitusionalnya.
"Warga Lalampanua berhak mendapatkan ruang hidup yang layak. Mereka berhak atas tambak yang bersih, perkebunan yang subur, dan udara yang sehat. Segala bentuk aktivitas industri yang mengancam itu semua harus ditolak," pungkasnya. (*)
Komunitas Laut Biru dan Mahasiswa KKN UGM Gotong Royong Tanam Mangrove di Pantai Babatoa Polman |
![]() |
---|
FKIP Unsulbar Edukasi Guru IPA di Majene Pahami Integrasi Teknologi Berbasis TPACK |
![]() |
---|
Guru Besar GUNDAR Pimpin Departemen Cendekiawan KKSS 2025–2030 |
![]() |
---|
Sinergitas Inisiasimuda dan PT Letawa, Kolaborasi Nyata dari Desa untuk Lingkungan |
![]() |
---|
IMM Majene Sampaikan 6 Tuntutan kepada Menteri Prof Brian Termasuk Perbaikan Jalan Kampus Unsulbar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.