Literasi
Kaidah Humor dalam Dakwah
Jika dahulu penyajian dakwah cenderung berlangsung monoton, tak kenal feed back. Kini, kondisi tersebut kian tak diminati.
Ketiga, Melanggar hal-hal yang dianggap tabu (taboo breaking). Ini merupakan tipe humor yang terlepas dari hal-hal yang dianggap suci ataupun dilarang.
Hal ini tergantung pada budaya masyarakat. Humor ini meliputi seks, kematian, agama dan lain sebagainya.
Keempat, Hal-hal yang dapat diobservasi (obversational). Tipe humor ini menggunakan hal-hal yang sepele yang mungkin sama sekali tidak menjadi pusat perhatian seseorang dan biasanya dialami oleh semua orang sehingga semua orang tanpa terkecuali menjadi bagian dari humor tersebut.
Humor tidak hanya mencakup kognitif dan apresiasi terhadap stimulus humor tetapi berkaitan juga dengan kemampuan dalam memproduksi stimulus humor.
Eysenck (Ruch, 2007) menyatakan istilah kepekaan humor digunakan untuk tiga hal. Yaitu: a). The conformist sense, yaitu tingkat kesamaan di antara individu satu dengan yang lain dalam apresiasi terhadap materi-materi humor. b) The quantitative sense, yaitu yang menunjukkan seberapa sering seseorang tertawa dan tersenyum, serta seberapa mudah seseorang merasa gembira. c) The productive sense, yaitu menekankan seberapa banyak seseorang menceritakan cerita-cerita lucu dan membuat orang lain gembira.
Namun dalam konteks dakwah, aspek humor menjadi objek yang cukup hati-hati untuk diimplementasikan secara proporsional.
Tidak sedikit juru dakwah harus berurusan dengan masalah hukum hanya dikarenakan oleh konten dakwah yang disampaikan dengan humor justeru berujung pada respon negatif.
Bahkan dalam era dominasi media sosial, nasib juru dakwah bisa terjun bebas hanya karena kolektivitas ketersinggunan netizen.
Pada poin inilah diperlukan pemetaan serius terkait pemenuhan aspek humor dalam dakwah. Bahwa di satu sisi, pesan dakwah tak boleh hilang subtansi pesan yang hendak disampaikan.
Sementara pada sisi yang lain, selera humor tak boleh diabaikan sebagai fungsi penyederhanaan pesan dakwah agar mudah dipahami oleh publik.
Menurut Mustofa Hilmi (2018: 104), dalam proses berdakwah, penggunaan humor adalah penting.
Humor menjadi cara terbaik untuk mengambil perhatian publik. Terlebih dengan model komunikasi satu arah yang selama ini masih banyak dilakukan oleh para dai.
Sebab pada dasarnya, waktu efektif yang tersedia bagi seseorang untuk menerima pesan secara monolog dari orang lain adalah 10 menit.
Lebih dari itu, publik akan bertarung dengan persoalan pribadinya, seperti; ngantuk, melamun, mengingat-ingat pekerjaan, dan sebagainya.
Maka pada kondisi ini dibutuhkan alat penyambung konsentrasi publik, di antaranya adalah humor.
Kendati demikian, setiap Dai hendaknya benar memperhatikan kadiah dasar dalam menyampaikan humor. Pertama, tidak boleh ada kedustaan dalam canda tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.