Pilkada Serentak 2024

Bukan Politik Uang, FORES Mamuju Sebut Partisipasi Pemilih Rendah di Pilkada 2024 Karena Regulasi

Ia menilai ada kekeliruan dari sisi penyelenggara sehingga partisipasi pemilih di Pilkada Seretak 2024 terjung bebas.

Editor: Nurhadi Hasbi
Zuhaji/Tribun-Sulbar.com
Koordinator FORES Mamuju Hamdan Dangkang 

TRIBUN-SULBAR.COM, MAMUJU - Koordinator Forum Strategis Pembangunan Sosial (Fores) Kabupaten Mamuju, Hamdan Dangkang, mengatakan, rendahnya partisipasi di Pilkada Serentak 2024 bukan hanya terjadi di Sulbar tetapi merata secara nasional.

"Bukan hanya Pilkada-nya yang serentak tapi juga penurunan partisipasi juga serentak," kata Hamdan kepada Tribun-Sulbar.com, Selasa (9/12/2024).

Data yang rilis KPU Sulbar, tingkat partisipasi pemilih khusus pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dirilis KPU Sulbar 75,85 persen, tidak mencapai target yang ditetapkan yakni 82 persen.

Baca juga: 7.462 Warga di Mamuju Terancam Kehilangan Hak Pilih Pemilu, Hamdan: Tolong Aktif Perekaman KTP-el

Sementara partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2020 di Sulbar mencapai 87,70 persen, hampir tertinggi secara nasional.

Mantan Ketua KPU Mamuju itu menurutkan, partisipasi pemilih merupakan indikator penting dalam mengukur kuantitas dan kualitas pemilu atau pilkada, karena pilkada ini wajib dilaksanakan secara demokratis artinya keterlibatan langsung pemilih sangat mutlak terutama dalam menyalurkan hak pilih nereka.

Ia menilai ada kekeliruan dari sisi penyelenggara sehingga partisipasi pemilih di Pilkada Seretak 2024 terjung bebas.

Kata dia, fenomena ini pertama terjadi, menurutnya ini disebabkan adanya keliru dalam hal regulasi yakni PKPU 7 tentang pemutakhiran data pemilih.

"Kelirunya dimana? saat awal proses penyandingan DP4 dengan DPT Pemilu terakhir kemudian sistem coklit yang berbasis de jure, semua serba administrasi sehingga misalkan pemilih yg sudah meninggal 30 tahun lalu karena TDK miliki akta kematian atau suket maka pemilih tetap terdata, dampaknya DPT membengkak karena banyaknya data TMS tidak bisa dihapus," pungkasnya.

Hamdan yang juga dosen UNIKA Mamuju itu menilai, money politik ditambah lagi alasan terbaru yakni kejenuhan masyaarakat menurutnya hanya alasan pembenaran saja dari penyelenggara.

"Partisipaso pemilih turun masa pemilih disalahkan, apalagi money politik inikan hampir disetiap momen pemilu atau pemilihan sering terjadi, contoh di pemilu 2024 kemarin money politik sangat massif tapi partisipasi tetap turun jika dibandingkan pemilu Sulbar 2019...??," ucapnya.

Namun, ia mengatakan sebenarnya pemilih datang ke TPS di Pilkada 2024 kurang lebih sama jumlahnya dengan pemilih datang saat Pilkada 2020.

Sebagai contoh, Kabupaten Mamuju, saat Pilkada 2020 jumlah pengguna hak pilih kurang lebih 143.660 jumlah DPT 162.218, sedangkan di Pilkada 2024 jumlah pengguna hak pilih 144.370 dengan DPT 192.330.

Begitu juga dengan kabupaten lain, sehingga menurutnya penyebab utama sebenarnya adalah KPU dalam menetapkan DPT terlalu banyak dari jumlah DPT sebenarnya.

"Ke depan yang perlu dievaluasi adalah regulasi tentang pemutakhiran data pemilih, ini tidak hanya sebatas de jure tapi juga berbasis de facto dan sumber data untuk daftar pemilih guna kepentingan coklit data DP4 hanya mengambil data pemilih baru dan hanya sebatas sandingan, Disdukcapil diupayakan tiap 6 bulan sekali atau paling tidak setahun sekali ada proses update data penduduk, memastikan data yang dimiliki baik oleh pemerintah kelurahan/desa betul-betul akurat, menghapus data yang sudah meninggal, penduduk yang sudah pindah dll," pungkasnya.

Faktor lain, menurutnya, mungkin tingginya Cost Politik Demokrasi kita, sehingga masyarakat tidak punya pilihan lain untuk memilih pemimpinnya karena boleh dikata setiap momen pemilihan orang-orang yang tampil itu-itu terus.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved