Opini
Refleksi Hari Anak Nasional, Cegah Kawin Anak: Mengubah Masa Depan Generasi Muda
Sulawesi Barat menghadapi tiga tantangan besar pada kualitas kependudukan, khususnya berkaitan dengan anak-anak.
Oleh : Sukardi, S.Pd., M.I.Kom
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Koalisi Kependudukan untuk Pembangunan Sulawesi Barat
TRIBUN-SULBAR.COM, - Sulawesi Barat menghadapi tiga tantangan besar pada kualitas kependudukan, khususnya berkaitan dengan anak-anak yang masih menjadi momok dalam pembangunan manusia di bumi Malaqbi ini. Tingginya prevalensi kawin anak, stunting, dan anak tidak sekolah adalah tantangan serius yang harus segera diatasi untuk membangun masa depan generasi muda yang lebih baik.
Ketiga persoalan tersebut diatas masih menempatkan Provinsi Sulawesi Barat pada posisi tertinggi secara nasional, anak-anak Sulbar sekarang untuk 15 -20 tahun kedepan akan menjadi pemimpin dimasa yang akan datang oleh karenanya harus disiapkan sedini mungkin oleh para policy maker karena kondisi sekarang merupakan cerminan atau gambaran dimasa datang. Untuk menjadi Tuan di negeri sendiri maka kualitas dan daya saing SDM mesti ditingkatkan melalui percepatan dalam penyelesaian persoalan yang dapat menghambat kualitas dan daya saing anak-anak Sulbar kedepannya dalam menyonsong Indonesia Emas 2045.
Kawin anak menjadi persoalan yang merampas hak-hak anak untuk masa depan yang cerah. Praktik ini menghentikan pendidikan dan pengembangan anak sebelum waktunya dan mengorbankan potensi mereka yang akan menjadi generasi penerus daerah ini.
Prevalensi usia kawin anak di Provinsi Sulawesi Barat masih menempati posisi pertama tertinggi secara nasional dengan angka sebesar 17,71 persen disusul Provinsi Nusa Tenggara Barat 16,59 persen, Kalimantan Tengah 15,47 persen dan Kalimantan Selatan 15,3 persen. Angka ini masih jauh diatas rata-rata nasional sebesar 9 persen.
Perkawinan anak terjadi dengan berbagai alasan pembenaran ditengah masyarakat kita, alasan paling utama karena dianggap sebagai sebuah solusi bagi anak untuk sebuah kehidupan yang lebih baik, padahal praktek ini menyisahkan banyak persoalan. Selain itu, alasan kemiskinan, tradisi, adat, agama, dan budaya dianggap sebagai pendukung maraknya terjadi perkawinan usia anak. Masyarakat terkadang beranggapan bahwa menikahkan anak diusia dini untuk menghindarkan dari perzinahan, padahal banyak diantara mereka menikah karena adanya kejadian luar biasa atau married by accident.
Berdasarkan data laporan SDKI Provinsi Sulawesi Barat 2017 median umur pertama kali melakukan hubungan seksual pada wanita kawin umur 25-49 tahun sebesar 20.9 tahun lebih rendah dari median umur kawin pertamanya yakni 21,1 tahun. Hal ini mengidentifikasikan umumnya wanita kawin umur 25-49 tahun melakukan hubungan seksual sebelum melakukan perkawinan. (Sukardi; Muslimin I, 2018)
Hal yang sama ketika melihat perilaku pacaran remaja di Sulawesi Barat menunjukkan bahwa sebanyak 2.5 persen remaja perempuan dan 6.8 persen remaja laki-laki mengaku pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Persentase pernah melakukan hubungann seksual sebelum menikah bagi remaja perempuan maupun laki-laki semuanya diatas rata-rata nasional yakni remaja perempun sebesar 1,7 persen dan remaja laki-laki sebesar 5.3 persen.
Kenyataan ini walaupun persentasenya kecil tapi tentu sangat mengkhwatirkan dan perlu diwaspadai agar tidak semakin meluas yang akan berpotensi pada peluang tumbuhnya seks bebas dikalangan remaja. (Sukardi, 2017)
Perkawinan usia anak tentu dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan yang harus dijalani kedepannya. Hak kesehatan dan pendidikan sebagai seorang anak dapat terancam. Putus sekolah menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan bagi pelaku perkawinan anak.
Konsekuensi lain adalah kejadian melahirkan pada usia anak, hal tersebut tentu berdampak bagi kesehatan reproduksi pelaku perkawinan anak. Mereka berisiko tinggi terkena penyakit menular seksual, infeksi dan kanker
serviks. Bahkan banyak yang berujung meninggal saat melahirkan anaknya akibat komplikasi persalinan.
Selain itu, perkawinan anak bukan hanya mengancam kesehatan fisik melainkan juga mental (intelektual, psikologis dan emosional) seperti mengalami depresi dan isolasi akibat terjadinya diksriminasi, kekerasan, bahkan pelecehan dalam rumah tangga.
Bahkan mengutip dari Ahli Gizi Dr Marudut Sitompul, MPS menyebut, perkawinan usia dini dapat membuat anak yang lahir dalam kondisi stunting. Hal ini, lantaran kesiapan tubuh dari sang ibu yang belum memenuhi standar, sehingga berisiko menjadi komplikasi, belum lagi bicara persoalan administrasi kependudukan bagi anak yang lahir dari pasangan perkawinan anak yang cenderung terabaikan oleh orantua mereka.
Ketika melihat berbagai faktor yang berhubungan dengan kejadian perkawinan anak dari berbagai riset dapat disimpulkan bahwa dari sekian banyak faktor, ada pada orang tua anak itu sendiri. Diantaranya terkait pendidikan rendah yang berdampak pula pada pengetahuan yang minim, tingkat kesejahteraan yang rendah, agama, adat
istiadat semua ada pada faktor orang tua, satu yang ada pada diri anak itu sendiri yaitu perilaku pacaran yang bebas namun itupun sebenarnya bisa masuk pada faktor orang tua terkait pola pengawasan yang ketat oleh orang tua terhadap pergaulan anaknya.
Oleh karenanya untuk meminimalisir perkawinan anak di Sulbar tentu dibutuhkan program yang lebih masif lagi untuk memberikan komunikasi, informasi dan edukasi kepada orang tua remaja, bukan hanya fokus pada remajanya saja. Sebagaimana hasil Survei Kinerja Akuntabilitas Prorgam Bangga Kencana ketika remaja ditanya
terkait dengan usia ideal menikah maka mereka berpendapat rata-rata 24,8 tahun untuk pria dan 21,9 tahun untuk perempuan menandakan pemahaman remaja Sulbar terkait usia ideal menikah cukup baik namum kenyataan masih banyak diantara mereka yang melakoni kawin di usia anak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.