Kolom

Melawan Keterpurukan

Pada saat tertentu, ia berobsesi mewujudkan mimpi-mimpinya. Tapi ia juga sadar bahwa anak-anaknya kini telah beranjak dewasa.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok pribadi
Nur Salim Ismail, Cendikiawan Muda Sulbar dan Ketua LDNU Sulbar 

Oleh: Nur Salim Ismail

Suatu ketika, saya berbincang dengan seorang Ibu beranak tiga. Dari gesturnya menunjukkan kelas dan kapasitasnya.

Jelas ia bukan perempuan biasa. Dalam penuturannya, ia bercerita tentang alur kehidupan yang dihadapinya dalam wujud jatuh dan bangun.

Sekali waktu ia menjadi seorang isteri yang bahagia dalam dekapan suami. Tapi pada kali yang lain ia harus menjadi perempuan tangguh melawan badai dan cobaan.

Pada saat tertentu, ia berobsesi mewujudkan mimpi-mimpinya. Tapi ia juga sadar bahwa anak-anaknya kini telah beranjak dewasa.

Di satu sisi hendak menunjukkan dirinya yang apa adanya. Pada sisi lain, ia berkewajiban menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Dalam keterpurukan yang dituturkan, sangat terasa jiwa dan jati dirinya yang tangguh.

Di saat-saat itu, ia hanya fokus pada satu hal; melewati badai keterpurukan tanpa harus menyalahkan siapapun.

Segala iming-iming dan janji meloloskan diri dari keterpurukan datang silih berganti. Tapi, pilihannya kokoh, prinsipnya kuat; badai pasti berlalu.

Hari demi hari masa kejatuhan itu dilewati. Tentu tidaklah ringan.

Tatapan orang-orang di sekeliling selalu saja menimbulkan aneka rupa pemaknaan. Ada yang menaruh perhatian, ada yang prihatin, ada pula yang tak segan-segan melontarkan deret kata-kata menohok dan menyakitkan.

Kepada anaknya, ia titipkan pesan kuat agar menerima segala kenyataan serta menghadapinya dengan penuh keikhlasan.

Kepada saya ia ungkapkan arti kekuatan doa yang saling berpaut. Doa suami kepada Isteri, dan doa isteri kepada suami. Keduanya berjumpa dalam ratapan doa dan pengharapan.

Pada titik ini, ia pasrahkan jiwa dan raga, bahkan kehormatan di hadapan Tuhan.

Ia sangat percaya pada satu kekuatan. Bahwa cinta sejati tidak ditemukan dalam kata-kata mutiara, apalagi hanya berupa rayuan gombal.

Cinta sejati akan menemukan kesaktiannya lewat doa-doa dan persembahan terbaik di hadapan Tuhan.

Hal menarik saat menungkapkan bahwa kehidupan dalam segala coraknya pada dasarnya biasa-biasa saja.

Reaksi terhadapnya yang membuat berakhir dengan manis atau pahit. Ketika diterima sebagai kado terbaik dari Tuhan, maka ujungnya adalah keberhasilan menghadirkan jiwa besar.

Di saat yang sama ia optimis bahwa kehidupan tidak selamanya berjalan satu warna dalam derita tiada henti.

Sebaliknya, jika dipahami sebagai sesuatu yang pahit, maka selamanya hanya akan menyisakan luka dan penyesalan.

Pesan ini seirama dengan nasehat filosof beraliran Stoikisme, Epictetus (138 M).

Ia berpesan, “Bukan masalahmu yang mengganggumu, tetapi cara anda memandang masalah itu. Semuanya bergantung pada cara Anda memandang sesuatu”.

Demikianlah arti penting bagi setiap manusia agar memiliki kekayaan terhadap pemaknaan hidup. Bahwa tidak selamanya keterpurukan akan terus menjadi teman sejati kehidupan.

Sebab, tidak sedikit manusia yang tampak sedang terpuruk, namun dalam suasana kebatinannya, ia sedang merayakan kedekatan dirinya dengan Tuhan.

Itu sebabnya, utuhnya identitas diri seorang manusia tidak cukup hanya dengan mengandalkan kepintaran, tapi juga kearifan.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Negeri Festival

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved