Kolom

Kehampaan Pidato

Mulai dari jenis orasi ilmiah, kampanye partai politik, khotbah menebar pesan Tuhan di atas mimbar, presenter, moderator maupun yang sejenisnya.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok pribadi
Nur Salim Ismail, Cendikiawan Muda Sulbar dan Ketua LDNU Sulbar 

Oleh: Nur Salim Ismail

Mahasiswa S3 UIN Alauddin Makassar

Betapapun canggihnya kehidupan berselancar dalam genggaman digital, kita tetap merindukan kebiasaan menyimak pidato.

Khususnya, dari mereka yang dipandang memiliki citra dan otoritas di mata publik.

Mulai dari jenis orasi ilmiah, kampanye partai politik, khotbah menebar pesan Tuhan di atas mimbar, presenter, moderator maupun yang sejenisnya.

Pentingnya menghadirkan jenis pidato yang bermutu dan jitu, berdampak pada kemunculan sejumlah lembaga yang menawarkan paket capacity building, khusus bagi mereka yang punya keinginan mengembangkan bakat pidato.

Sebab makin hari, publik kian tersadar oleh makin banyaknya konten pidato yang tersaji, lalu selesai dengan kehampaan.

Nikmat bertutur yang dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa kerapkali tercemari oleh ketidakmampuan mengemasnya secara apik.

Akibatnya, waktu dan energi terkuras tanpa meninggalkan jejak dan makna apa-apa.

Bukan mustahil, ada sejumlah kolega, rekan sejawat yang secara batiniyah tak mampu menyimak paparan pidato yang tersampaikan.

Namun demi merawat lingkaran pertemanan, jadilah mereka sebagai penikmat semu, dari sebuah pidato yang hanya menyisakan rasa jemu.

Untuk mengukur apakah pidato yang disampaikan dapat terterima dengan baik atau tidak, dapat diselami dalam hitungan tiga menit pertama.

Jika seorang orator tak mampu merebut perhatian audiens pada tiga menit pertama, pilihan paling bijak adalah: segeralah berhenti!

Ada apa dengan tiga menit pertama?

Itu adalah masa seorang pembicara melakukan grabbing. Sebuah pengkondisian audiens agar menyimak pesan dari pidato yang disampaikan.

Jika anda tak berhasil melakukannya dengan baik, itulah kegagalan yang mesti diterima oleh sang Orator.

Sekali lagi, berhenti adalah tindakan menyelamatkan wibawa dan kehormatan.

Itu sebabnya, jangan mudah terlena. Karena, tidak semua tepuk tangan hadirin dapat dipahami sebagai respon positif.

Boleh jadi sebaliknya, tepukan yang gemuruh sebagai tanda gembira atas berakhirnya pidato yang hampa itu.

Lalu, adakah yang dapat menuntun agar bakat orasi maupun pidato dapat terus terawat, terjaga dan terhormat?

Seorang filosof, namanya Marcus Tullius Cicero, lahir 3 Januari 106 SM di Arpinum, di sebuah Kota yang berjarak kira-kira 70 mil ke arah tenggara Kota Roma, Ia berhasil merumuskan sejumlah perangkat penting bagi setiap orang yang hendak berpidato.

Bagi Cicero, penting bagi manusia untuk merawat kodrat yang diberikan oleh Tuhan.

Salah satunya lewat kemampuan bertutur. Kodrat ini sepatutnya diakrabkan dengan seni bertutur yang tetap memperhatikan ruang dan waktu.

Sebab pada setiap tempat ada cara menuturkan. Sebaliknya pada setiap penuturan, ada tempat yang tepat menyampaikan.

Demikian halnya dalam pidato yang diselingi humor. Tidak semua jenis humor terasa pantas untuk disampaikan.

Pada segmentasi masyarakat tertentu boleh jadi dianggap patut.

Namun, pada kelompok yang lain, justeru dipandang sebagai tanda hilangnya karakter keadaban.

Ini tentu bukan pekerjaan tipu muslihat. Apalagi mengandung perubahan secepat kilat

Bagi mereka yang bersungguh-sungguh, latihan dan latihan adalah bagian dari cara menikmati pemberian dan kesempatan dari Tuhan.

Agar penuturan menghasilkan keragaman pilihan diksi, anda hanya butuh etos membaca agar tak berada pada zona miskin kosa kata.

Sebuah pidato yang berbobot juga ditandai dengan menjaga kefasihan.

Tebal dan tipisnya sebuah pelafalan sangat menentukan kesan di benak audiens.

Jika seorang politisi, ia mampu menjelaskan betapa pentingnya sentuhan politik dalam menata masa depan bangsa.

Ia mampu meyakinkan bahwa politik bukanlah jalan sepi yang menjauh dari hasrat menemukan sorga.

Jika seorang pejabat di lingkup birokrasi, ia mampu memaparkan hakikat pembangunan dengan baik.
Pijakannya pada undang-undang, keputusan, surat edaran hingga petunjuk teknis (juknis).

Kefasihannya tercermin dari kemampuan mengelaborasi pesan dalam pidatonya dengan meyakinkan bahwa kehadiran pemerintah itu sangatlah penting.

Bukan justeru memberi kesan hanya tampil sebagai penghafal aturan.

Seorang Khatib atau penceramah mampu melafadzkan teks-teks agama dengan baik dan benar.

Bacaan yang tertuang dari Kitab suci al Quran misalnya, tak sekadar dijelaskan dengan piawai.

Namun juga dituturkan dengan tidak menodai kaedah ilmu tajwid.

Ringkasnya, kefasihan ditandai dengan ketepatan dan kejelasan.

Agar tidak keliru dalam menyampaikan pesan di tengah sorotan ratusan bahkan ribuan sorotan mata, maka mutlak bagi siapapun untuk tampil dalam suasana prima.

Caranya? Kenali, susun dan hafal.

Kenali siapa yang menjadi audiens anda. Kenali dimana anda berada.

Lalu susunlah rangkaian pidato dengan tepat. Mulai dari pengantar, isi hingga penutup.

Kesalahan fatal ketika mulai menganggap remeh ketiga hal tersebut.

Bahkan dari seorang ulama menyebutkan, ceramah yang tidak dipersiapkan dengan matang, lebih berbahaya dari pasien yang kehabisan darah.

Susunlah alur pesan dengan cermat. Mana yang mesti didahulukan, mana yang memerlukan pengulangan sebagai tanda penegasan, serta mana yang akan menjadi bagian penutup.

Lalu hafal dengan baik. Latihlah otak anda menjadi memory penyimpanan dari berbagai pesan-pesan baik. Biarkan otak anda bekerja menumpuk segala pesan kebaikan.

Hingga tak tersisa lalgi untuk hal-hal yang tak memberi maslahat.

Maka berpidato tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan ketajaman logika.

Dibutuhkan ketangkasan dalam memaparkan pembuktian dan tarikan emosi yang dalam.

Naik dan turunnya volume suara, atau hadirnya pesan-pesan yang menggetarkan jiwa, mengundang tangis dan tawa adalah bagian yang tak mudah diperankan, jika tidak memiliki tarikan emosi yang dalam.

Karenanya, kecakapan menyampaikan pesan dalam pidato sangatlah penting. Bukan sekadar pada apa yang disampaikan. Melainkan, bagaimana menyampaikannya.

Pentingnya merawat isi pidato setara dengan pentingnya memahami cara menyampaikan.
Bahkan pada sebagian pandangan menyebut, metode lebih penting dari pada materi.

Sebaliknya, kata Cicero, kata-kata tanpa subtansi adalah hampa. Rem tene, verba sequentur. Cengkramlah perkaranya, kata-kata akan menyusul.

Siapa yang tampil tanpa persiapan, maka ia akan turun tanpa penghormatan. Itu menurut Cicero.

Menurut saya, lupa pada konsep pidato sama berbahanya dengan lupa waktu. Maka, berhentilah sebelum diberhentikan!

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Negeri Festival

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved