Kolom

Kedaulatan Manusia

Negara yang berdaulat artinya adanya penguasaan negara terhadap wilayah atau zona tertentu.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok pribadi
Nur Salim Ismail, Cendikiawan Muda Sulbar dan Ketua LDNU Sulbar 

Oleh: Nur Salim Ismail

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kedaulatan dapat dipahami sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya.

Negara yang berdaulat artinya adanya penguasaan negara terhadap wilayah atau zona tertentu.

Dalam artian, terminologi daulat mesti berpadu antara kekuasaan, pengakuan dan adanya kepastian.

Berbeda dengan filosofi kedaulatan manusia. Jika selama ini kedaulatan cukup akrab dengan konotasi kekuasaan, maka dalam dimensi kehidupan manusia, kedaulatan dipahami sebagai garis demarkasi antara kamar personal dan ruang komunal.

Adanya polemik, sengketa, silang pendapat hingga perseteruan sengit antara satu orang dengan lainnya, seringkali dikarenakan ketidak mampuan memahami zona kedaulatanmanusia. Hingga seringkali sulit merumuskan nuansa kecemasan dan kemarahan yang mendera kehidupannya.

Belakangan istilah kedaulatan ini kian akrab dalam narasi Stoikisme.

Sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di Kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Secara eksplisit dikembangkan di Indonesia.

Salah satunya melalui Filosofi Teras ala Henry Manampiring.

Secara ringkas, stoikisme mengajarkan satu pesan penting dalam menilai realitas kehidupan.

Utamanya tentang apa yang sesungguhnya hendak dicari dalam kehidupan.

Juga tak kalah pentingnya, tentang kesanggupan menilai antara ‘yang perlu’ dan ‘yang tidak perlu’ dalam hidup ini.

Kembali pada tema kedaulatan manusia. Dalam filosofi teras, kedaulatan manusia memiliki tiga ruang yang berbeda, serta sikap dan respon yang juga berbeda.

Terdapat tiga dimensi kedaulatan manusia.

Pertama, kedaulatan privasi. Di dalamnya berupa gagasan, angan-angan ideal, cita-cita dan cinta, kerinduan hingga ketidak puasan terhadap apa yang disaksikannya.

Dalam ruang privasi itu, tak satupun manusia yang dapat mengoreksinya. Seorang yang bermimpi sedang bercinta dengan artis misalnya, itu murni urusan personal. Tak seorang pun boleh mendebatnya, apalagi menggugatnya.

Karenanya, setiap yang orang jatuh cinta tidak patut untuk diajak mendiskusikan tentang apa dan siapa yang dicintainya.

Sebab, sekali lagi, itu masuk dalam rumusan kedaulatan personal. Anda boleh menuduhnya sebagai perilaku cinta buta. Tapi itu dalam ruang publik.

Sebab di zona personal, cinta hadir dalam iman yang terang. Di zona publik kita menuduhnya sebagai kemabukan. Tapi di zona privat, itu kehormatan.

Secara operasional, sepanjang belum menjadi konsumsi publik, maka itu tetap menjadi kedaulatan privasi. Sebaliknya, jika telah mendarat sebagai konsumsi publik, runtuhlah kedaulatan privasi.

Kedua, kedaulatan pihak lain. Berbeda dengan yang pertama, ini berkaitan dengan kesiapan setiap manusia untuk menerima kedaulatan yang dimiliki orang lain.

Memasuki ranah privasi orang lain, sama halnya menggali kuburan sendiri. Mengungkap privasi orang lain, setara menumpuk beban jiwa, serta sengaja menghadirkan penyakit oleh karena kesibukan mengintai kedaulatan orang lain.

Ketiga, kedaulatan bersama. Atau jika meminjam istilah Jean Jacques Rousseau, sebagai kesepakatan antara beberapa orang, demi membentuk suatu ikatan, karena dilandasi kebutuhan terhadap masyarakat.

Kedaulatan jenis ketiga ini mengunggulkan etika publik. Sehingga, tidak relevan mengungkap problem personal menjadi konsumsi percakapan publik.

Juga bukan pada tempatnya melancarkan kritik terhadap persoalan publik, lalu dibantah dengan argumentasi personal.

Jelas itu masuk dalam karakteristik kesesatan berpikir. Atau juga dapat disebut sebagai kedangkalan nalar yang dipertontonkan. Di samping tidak etis, juga menunjukkan tingkat kejernihan kelas berpikir anda.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Negeri Festival

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved