Kolom

Kerinduan Primordial

Manusia, dengan segala misteri yang dilalui dan dihadapinya, kerapkali memendam ambisi besar untuk meraih segala yang dicita-citakannya.

Editor: Nurhadi Hasbi
dok pribadi
Nur Salim Ismail, Cendikiawan Muda Sulbar dan Ketua LDNU Sulbar 

Oleh: Nur Salim Ismail
Ketua LDNU Sulawesi Barat

Manusia, dengan segala misteri yang dilalui dan dihadapinya, kerapkali memendam ambisi besar untuk meraih segala yang dicita-citakannya.

Ia habiskan waktunya untuk menghitung segala rencana masa depan.

Pertimbangan-pertimbangan yang melintasi alam berpikirnya, seluruhnya dikerucutkan pada target pencapaian masa depan, dengan segala alat ukur kesukesan, yang menurutnya bakal mendulang kebahagiaan.

Namun pandangan itu tak sepenuhnya berjalan mulus. Gelombang ujian datang silih berganti.

Kebahagiaan yang hendak diraih dengan jembatan kesuksesan ternyata hanya berujung ilusi semata.

Seluruh gugusan rencana kerja kacau balau. Bahkan ambruk seketika.

Sebab-musababnya bermacam-macam. Ada yang karena terlelan oleh zona nyaman yang dilalui selama ini.

Ada pula yang mengandalkan kemapanan sosial dan ekonomi, lalu tergulung oleh perubahan dan kemajuan zaman.

Mungkin mereka lupa, bahwa tak ada pesta yang tak berakhir.
Sebagaimana halnya tak ada riwayat hidup setiap insan yang sepenuhnya berjalan mulus tanpa hambatan.

Dalam suasana turbulensi itulah, ke-khas-an manusia muncul.

Dalam keterpurukan, kehadiran Tuhan terasa amat dekat.

Dalam segala dimensi kekuatannya yang terasa tandus, tersirat bisikan Nurani untuk menemukan kehidupan otentik.

Sebuah kehidupan yang mengantar pada dimensi ilahiyah.

Itulah yang disebut dengan kerinduan primordial.

Fenomena kerinduan primordial ini diekspresikan dalam perwajahan yang beragam.

John Naisbitt maupun Patricia Aburdene memperkenalkan istilah Spirituality Yes, Organized Religion No (Masduki: 2016).

Gagasan ini hendak memperkenalkan sebuah kesadaran spiritual, namun di saat yang sama mereka menolak corak beragama yang diformalkan.

Mereka merindukan hadirnya Tuhan yang menyapa, tanpa harus melewati gerbang agama yang acap kali menegangkan, serta dipandang tak lagi menawarkan kesejukan batin.

Pada sisi lain, kerinduan primordial juga mewujud dalam bentuk pelarian singkat menuju pola kehidupan beragama serta praktis.

Dalam suasana rindu yang mendera dan membabi buta, mereka lupa bahkan abai pada keterlibatan pikiran.

Agama seumpama bius yang melenakan. Agama tak ingin lagi dibincang secara terbuka dan lentur.

Sebab telah mewujud dalam dogma yang tak lagi memerlukan pengujian keabsahan.

Bahkan mempertanyakannya sama dengan menguliti keabsahan agama.

Kedua gambaran di atas, sesungguhnya amat dekat dengan kehidupan kita.

Namun sayangnya, keduanya memiliki dampak yang sama merisaukannya.

Untuk tak terjebak di dalamnya, penting melibatkan pengetahuan sebagai nutrisi pikiran dalam mencerna ajaran agama.

Prinsip keterbukaan adalah pintu masuk mengurai setiap perspektif.

Sebaliknya, sikap tertutup dan anti kritik adalah tanda kebesaran mahkota kejumudan. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Negeri Festival

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved