Opini

Abolisi, Amnesti dan Amnesia

Pemberian pengampunan ini bukan hanya soal hukum, tapi tentang arah moral bangsa. 

Editor: Nurhadi Hasbi
Muhammad Aras Prabowo
INTELEKTRUAL MUDA NU - Intelektual muda NU Muhammad Aras Prabowo menilai kebijakan terbaru Bulog wajib membeli Gabah Kering Panen (GKP) petani dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa syarat kualitas adalah langkap positif. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani 

Oleh: Muhammad Aras Prabowo
(Pengamat Ekonomi UNUSIA dan Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor)

KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto memberi amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong menjadi preseden hukum dan politik mengguncang opini publik.

Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, pemberian amnesti dan abolisi memang dimungkinkan secara konstitusional, namun tidak lepas dari kritik tajam terutama ketika diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi.

Sebab, pemberian pengampunan ini tak ubahnya membuka jalan bagi amnesia kolektif terhadap kejahatan korupsi yang merugikan bangsa secara sistemik.

Secara istilah, amnesti merupakan pengampunan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang atas tindak pidana tertentu, yang biasanya bersifat politis dan diberikan oleh presiden dengan pertimbangan DPR.

Abolisi, di sisi lain, merupakan penghapusan proses hukum terhadap suatu perkara pidana sebelum perkara tersebut diputus pengadilan.

Pembedaan ini penting, karena dalam kasus Hasto Kristiyanto yang telah divonis 3,5 tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi, pemberian amnesti berarti menghapus akibat hukum dari putusan tersebut.

Sedangkan dalam kasus Tom Lembong, abolisi membuat proses hukumnya dihentikan sebelum mencapai vonis.

Namun publik bertanya-tanya, apa urgensi pengampunan ini? Dalam konteks keadilan, amnesti dan abolisi kerap diberikan untuk meredam konflik politik atau mengakhiri perpecahan nasional.

Di masa lalu, Presiden Soekarno pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada para pemberontak PRRI/Permesta demi stabilitas nasional.

Sementara itu, Presiden BJ Habibie memberikan amnesti kepada tahanan politik era Orde Baru demi membuka lembaran baru demokrasi.

Namun, apakah alasan yang sama bisa diterapkan dalam kasus korupsi hari ini? Apakah korupsi bisa dianggap sebagai tindak pidana politik yang layak diberi pengampunan?

Dalam konteks Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kasus korupsi mereka bukanlah bagian dari konflik politik bersenjata atau penindasan atas aspirasi rakyat, melainkan bagian dari kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merampas hak ekonomi rakyat.

Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum biasa; ia menghancurkan tata kelola negara, merusak kepercayaan publik, dan melemahkan institusi demokrasi.

Oleh karena itu, ketika amnesti dan abolisi diberikan kepada pelaku korupsi, publik tidak hanya merasa keadilan diabaikan, tetapi juga merasakan adanya "amnesti yang berubah menjadi amnesia", yakni melupakan sejenak bahkan menghapus jejak pelanggaran hukum yang telah terjadi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved