Opini
Generasi Hilang? Job Hugging dan Lonely in the Crowd
Fenomena job hugging semakin ramai diperbincangkan di media sejak tahun 2025. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika pekerja
Oleh Nivi Ardillah,S.Pd.
TRIBUN-SULBAR.COM- Generasi muda saat ini dihadapkan pada tantangan yang begitu kompleks. Meskipun lahir di era teknologi dan globalisasi, sehingga dijuluki "generasi serba bisa,& mereka pada saat yang sama dikenal sebagai generasi yang rapuh, penuh keresahan, dan kehilangan arah. Di satu sisi, dunia kerja semakin sulit ditembus, lapangan kerja terbatas, dan ancaman PHK senantiasa menghantui.
Di sisi lain, dunia sosial pun tidak lebih baik; meskipun dikelilingi jutaan koneksi digital, banyak di antara mereka yang justru merasa kesepian di tengah keramaian. Fenomena job hugging dan lonely in the crowd adalah dua potret nyata dari persoalan tersebut. Yang pertama terkait dengan dunia kerja yang makin tidak ramah bagi kaum muda, sementara yang kedua mencerminkan kehidupan sosial yang makin kehilangan makna akibat dominasi media sosial.
Keduanya lahir dari akar yang sama, yaitu sistem kapitalisme global dan sekular liberal. Sistem ini telah membangun peradaban modern yang terlihat gemerlap, namun sesungguhnya rapuh di dalam. Tulisan ini akan membongkar kedua fenomena tersebut secara mendalam, menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar pada individu, melainkan bersifat sistemik. Selanjutnya, kita akan membandingkan bagaimana Islam menawarkan solusi tuntas, bukan hanya untuk meredakan gejala, melainkan menyembuhkan penyakitnya hingga ke akarnya.
Definisi dan Realitas di Lapangan
Fenomena job hugging semakin ramai diperbincangkan di media sejak tahun 2025. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika pekerja tetap bertahan di satu pekerjaan, meskipun mereka sudah
kehilangan minat, motivasi, bahkan merasa tidak bahagia. Mereka bertahan bukan karena pekerjaan itu bermakna, melainkan semata-mata demi keamanan finansial yang esensial.
Di Indonesia, job hugging muncul seiring dengan meningkatnya angka pengangguran intelektual. Lulusan perguruan tinggi, yang awalnya memiliki harapan besar, pada akhirnya terjebak di pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang mereka. Sebagai contoh, lulusan teknik mesin mungkin bekerja sebagai staf administrasi, lulusan kedokteran justru membuka toko daring, atau sarjana komunikasi menjadi operator call center.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, survei Gallup (2024) mencatat bahwa hanya 33 persen pekerja yang merasa “engaged” atau terikat dengan pekerjaannya. Sisanya sekadar bekerja demi gaji. Banyak di antara mereka yang ingin pindah pekerjaan, tetapi tidak berani mengambil risiko karena pasar kerja yang tidak menentu.
Akar utama job hugging adalah kegagalan kapitalisme global dalam menjamin lapangan kerja yang memadai. Dalam sistem kapitalis, negara tidak lagi bertanggung jawab penuh untuk menyediakan pekerjaan. Sebaliknya, tanggung jawab itu dialihkan ke sektor swasta. Perusahaan-perusahaan besar menjadi “gerbang” utama untuk mendapatkan pekerjaan, sementara negara hanya berperan sebagai regulator.
Namun, perusahaan tentu saja memiliki orientasi profit. Mereka tidak akan mempekerjakan banyak orang jika dianggap tidak efisien. Bahkan, dengan adanya otomatisasi dan kecerdasan buatan, banyak pekerjaan justru digantikan oleh mesin. Akibatnya, peluang kerja semakin sempit, sementara jumlah pencari kerja terus bertambah setiap tahun. Lebih parah lagi, kapitalisme mendorong berkembangnya praktik ekonomi non-riil dan ribawi.
Uang lebih banyak berputar di sektor spekulatif seperti saham, obligasi, dan kripto, ketimbang di sektor riil yang seharusnya bisa menyerap tenaga kerja secara luas. Industri manufaktur melemah, pertanian terpinggirkan, sementara sektor jasa berbasis digital dikuasai oleh segelintir korporasi global, memperparah ketimpangan.
Perguruan tinggi di era kapitalisme sering menjanjikan bahwa pendidikan adalah kunci masa depan yang cerah. Namun, realitas membuktikan sebaliknya. Meskipun kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan industri, tetap saja lulusan tidak mendapat jaminan kerja setelah menyelesaikan studinya. Sebagai ilustrasi, setiap tahun Indonesia menghasilkan lebih dari 1 juta lulusan perguruan tinggi baru. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah ada 1 juta lowongan pekerjaan baru yang disiapkan negara untuk menampung mereka? Jawabannya, tidak. Akibatnya, persaingan semakin ketat, banyak yang menganggur, dan sebagian memilih bertahan di pekerjaan yang tidak mereka sukai karena tidak ada pilihan lain.
Dampak Psikologis dan Sosial dari Job Hugging
Fenomena ini berdampak serius karena menyebabkan pekerja kehilangan semangat kerja, mengalami stres dan burnout, tidak dapat berkembang secara profesional maupun personal, serta menurunkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa membuat generasi muda kehilangan daya inovasi. Mereka tidak lagi berani mengambil risiko atau menciptakan hal-hal baru, karena terlalu takut kehilangan pekerjaan yang sudah ada.
Di saat dunia kerja menjerat dengan job hugging, dunia sosial pun tidak kalah menyedihkan. Media sosial yang awalnya digadang-gadang bisa mempererat hubungan manusia, ternyata melahirkan fenomena lonely in the crowd—kesepian di tengah keramaian. Fenomena ini dijelaskan dalam riset mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY dengan judul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual.” Menurut teori hiperrealitas, representasi digital sering kali dianggap lebih nyata daripada realitas itu sendiri.
Akibatnya, banyak orang yang merasa terhubung secara digital, tetapi sesungguhnya kosong secara emosional. Bayangkan seseorang yang memiliki 10 ribu pengikut di Instagram, tetapi ketika mengalami masalah nyata, tidak ada satu pun yang benar-benar hadir untuk mendengarkan atau memberikan dukungan.
Inilah paradoks besar media sosial: semakin banyak koneksi digital yang terjalin, semakin sedikit interaksi nyata yang bermakna. Fenomena ini paling terasa di kalangan Gen Z. Laporan Cigna (2023) di Amerika Serikat menyebutkan bahwa 61 persen Gen Z merasa kesepian, angka tertinggi dibanding generasi lain. Di Jepang, fenomena hikikomori (remaja yang mengisolasi diri di kamar selama berbulan-bulan) menjadi masalah sosial yang serius.
Di Korea Selatan, meningkatnya angka bunuh diri di kalangan muda juga dikaitkan erat dengan rasa kesepian dan tekanan sosial yang intens. Indonesia pun tidak luput dari fenomena ini. Banyak remaja menghabiskan lebih dari 6 jam sehari di depan layar, tetapi jarang sekali menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga atau teman secara langsung. Bahkan, hubungan antaranggota keluarga pun menjadi renggang, karena masing-masing sibuk dengan gawainya sendiri.
Akar masalahnya lagi-lagi adalah kapitalisme. Platform media sosial tidak dibangun untuk memenuhi kebutuhan sosial manusia, melainkan untuk mencetak keuntungan sebesar-besarnya. Algoritma dirancang agar pengguna terus-menerus menatap layar, menggulir tanpa henti, dan kecanduan interaksi semu yang bersifat adiktif. Data pribadi pengguna dijual, atensi mereka dimonetisasi, sementara emosi mereka dimanipulasi untuk kepentingan komersial. Akibatnya, pengguna kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Mereka menjadi produk yang diperjualbelikan, bukan lagi pengguna yang berdaulat.
Fenomena lonely in the crowd berdampak serius karena meningkatkan gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, menurunkan kemampuan bersosialisasi secara nyata, meningkatkan individualisme, serta mengurangi kepedulian sosial di masyarakat. Jika dicermati, job hugging dan lonely in the crowd sebenarnya berakar dari hal yang sama, yaitu kapitalisme.
Kapitalisme di bidang ekonomi melahirkan job hugging, karena negara lepas tangan dalam menyediakan lapangan kerja yang layak. Sementara itu, kapitalisme di bidang digital melahirkan lonely in the crowd, karena media sosial digunakan untuk eksploitasi emosi dan atensi pengguna. Keduanya sama-sama menunjukkan bahwa kapitalisme gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia: kebutuhan ekonomi untuk hidup layak, dan kebutuhan sosial untuk merasa terhubung dan bermakna. Akibatnya, lahirlah generasi muda yang stagnan, rapuh, dan kehilangan arah dalam hidup mereka.
Negara sebagai Penanggung Jawab Utama
Islam menetapkan bahwa negara adalah penanggung jawab utama urusan rakyat, termasuk di dalamnya penyediaan lapangan kerja yang layak. Muqaddimah dustur pasal 153 secara tegas menyatakan bahwa negara wajib memastikan rakyat bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Negara tidak boleh lepas tangan atau menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada swasta. Sebaliknya, negara harus hadir sebagai pelayan rakyat, bukan sekadar regulator pasar yang pasif.
Dalam khilafah, kebijakan ekonomi diarahkan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga. Beberapa kebijakan kunci antara lain, mengelola sumber daya alam sebagai milik umum, bukan diserahkan pada korporasi asing; membangun industrialisasi yang mandiri, sehingga tercipta lapangan kerja luas; membagikan tanah mati untuk dihidupkan (ihya’ul mawat), sehingga rakyat bisa bekerja di sektor pertanian, serta memberikan bantuan modal dan keterampilan kepada rakyat yang membutuhkan.
Dengan kebijakan ini, tidak ada rakyat yang terpaksa bertahan di pekerjaan yang tidak mereka sukai. Mereka bisa memilih pekerjaan sesuai minat dan keahlian, karena negara menyediakan peluang yang luas dan beragam. Islam juga membingkai pendidikan dan pekerjaan dengan ruh iman. Bekerja bukan sekadar mencari uang semata, tetapi merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah SWT. Dengan motivasi ini, masyarakat akan bekerja penuh tanggung jawab, memiliki etos tinggi, dan tidak mudah rapuh menghadapi tekanan hidup.
Mengatasi Lonely in the Crowd dengan Islam
Islam juga memberikan solusi untuk fenomena lonely in the crowd. Pertama, Islam memperkuat identitas individu agar tidak mencari validasi dari media sosial yang semu. Kedua, Islam menekankan pentingnya silaturahmi dan hubungan sosial nyata yang berlandaskan kasih sayang, bukan sekadar interaksi digital yang dangkal. Negara juga berperan mengendalikan media, memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kemaslahatan umat. Konten-konten yang merusak moral dan memicu kesepian akan dicegah secara tegas. Sebaliknya, masyarakat akan diarahkan untuk menggunakan teknologi secara produktif dan bermanfaat.
Fenomena job hugging dan lonely in the crowd adalah potret nyata kegagalan kapitalisme global yang telah menciptakan generasi muda terjebak dalam pekerjaan tanpa makna dan kesepian tanpa ujung. Islam menawarkan jalan keluar yang tuntas dan komprehensif. Negara hadir sebagai penanggung jawab utama rakyat, menyediakan pekerjaan yang layak, membingkai pendidikan dan pekerjaan dengan ruh iman yang kokoh, serta mengendalikan media sosial agar tidak merusak tatanan sosial. Dengan Islam, manusia tidak lagi bekerja sekadar untuk bertahan hidup, tetapi sebagai ibadah yang bernilai.
Dengan Islam, manusia tidak lagi kesepian di tengah keramaian, tetapi menemukan makna sejati dalam hubungan sosial yang sehat dan harmonis. Hanya dengan kembali pada Islam, umat akan terbebas dari jeratan kapitalisme yang menindas. Dalam naungan khilafah, generasi muda akan tumbuh menjadi generasi yang kuat, produktif, dan penuh
makna—bukan generasi yang terjebak dalam job hugging dan lonely in the crowd yang merusak jiwa.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.