TRIBUN-SULBAR.COM,PASANGKAYU- Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan bersama DPR RI dan Asosiasi Pengemudi Logistik sepakat untuk segera menerapkan aturan Zero ODOL (Over Dimension Over Load).
Aturan ini bertujuan menghapus praktik kendaraan yang melebihi dimensi dan muatan yang diizinkan, demi keselamatan lalu lintas, mengurangi kerusakan jalan, serta menciptakan persaingan usaha yang lebih sehat dalam industri logistik.
Namun, di balik tujuan mulia itu, muncul keluhan dari para sopir truk yang selama ini menggantungkan hidup dari jalanan.
Baca juga: Unsulbar Percepat Perbaikan Jalan Rusak Jelang Mahasiswa Baru Masuk Kampus
Baca juga: Bupati Pasangkayu Ajak Masayarakat Pasang Bendera Merah Putih hingga Akhir Agustus 2025
Sadam, seorang sopir truk pengangkut sawit yang ditemui di salah satu Tempat Timbang Buah (TBS) di Kelurahan Martajaya, Kecamatan Pasangkayu, pada Rabu (6/8/2025), mengaku cukup berat hati menyambut kebijakan tersebut.
“Kalau pemerintah mau terapkan aturan begitu, ya mau tidak mau kita harus patuh,” katanya dengan suara pelan.
Namun di balik penerimaan itu, tersimpan kegelisahan yang mendalam.
Menurut Sadam, aturan Zero ODOL akan sangat menyusahkan sopir truk, terutama mereka yang sehari-hari memuat sawit dari Timbangan sawit ke pabrik.
“Upah kami itu cuma Rp20 ribu per ton. Kalau kami hanya boleh muat 6 ton sekali jalan, artinya cuma dapat Rp120 ribu. Itu belum termasuk beli solar, makan, kadang kalau ban bocor di jalan juga keluar biaya sendiri,” keluhnya.
Ia mengaku sering kali harus bekerja dari subuh hingga larut malam, menyusuri jalan-jalan berlumpur dan berbatu, hanya demi membawa sawit tepat waktu.
Beban kerja yang berat itu terasa makin menyesakkan jika aturan pembatasan muatan diberlakukan, tapi sistem pengupahan tetap tidak berubah.
“Kalau sistem gaji tidak ikut diubah, kami ini mau dapat apa? Anak istri kami di rumah butuh makan, sekolah, biaya hidup makin mahal. Kalau muatannya dibatasi, tapi bayaran tetap segitu, kita mau hidup dari mana?” katanya dengan mata menerawang.
Sadam menegaskan, dirinya tidak menolak aturan, namun berharap ada keadilan dari semua pihak.
Pemerintah tidak bisa hanya menuntut kepatuhan dari para sopir tanpa melibatkan pemilik TBS atau perusahaan dalam perubahan sistem.
“Silakan diterapkan aturannya, kami siap ikut. Tapi tolong, sistem upah kami juga dibenahi. Jangan kami yang jadi korban kebijakan,” tutupnya.(*)
Laporan Wartawan Tribun-Sulbar.com Taufan