Human Interest Story

SOSOK Amrullah Syam, Perupa 76 Tahun Pelihara Semangat dengan Patung

Penulis: Thamzil Thahir
Editor: Ilham Mulyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PERUPA PATUNG - Amrullah syam atau akrab disapa Kak Am (kiri) perupa patung bersama penulis (kanan) foto bersama di sebuah rumah yang terletak di Jl Baji Bicara, Makassar , Sulawesi Selatan pada Jumat (8/2/2025). Kak Am merupakan seniman patung yang karyanya sudha lebih dari 100 patung. Termasuk trio patung tokoh dunia yakni Nelson Mandela, Syekh Jusuf, dan Mahatma Gandi yang berada di pelataran Anjungan Pantai Losari, Makassar.

TRIBUN-SULBAR.COM - Sosok Amrullah syam atau akrab disapa Kak Am (76), seorang seniman patung yang karyanya sudah 100, dan menghiasi banyak tempat.

Tak terkecuali di Kota Makassar.

Termasuk trio patung tokoh dunia yakni Nelson Mandela, Syekh Jusuf, dan Mahatma Gandi yang berada di pelataran Anjungan Pantai Losari, Makassar.

“Saya sudah tamat SMP saat peristiwa G-30 S PKI,” ujar Kak Am, kepada Tribun, Kamis (6/2/2025) malam.

Dr Dicky Tjandra (69, pematung Selamat Datang Makassar), Dr Thamrin Mappalahere (64, perupa dan akademisi UNM) dan perupa otodidak “Patung Massa di Paccinongang”; H Abdul Kadir Dg Tunru (71), masih juniornya.


“Kak Am ini murid langsung dari almarhum MN Syam, salah satu pendiri ISI (Institut Seni Indonesia, Jogya),” kata Prof Dr Andi Halilintar Latief MA (72), di  Baitul Izzah, Jl Baji Bicara, Makassar, Kamis (6/2/2025) malam.

Si empunya rumah, Syekh Sayyid Abdul Rahim Assegaf Puang Makka (65) pun membenarkan dengan anggukan serius.

Amat mudah mengidentifikasi Kak Am.

Rambut, janggut dan misainya dibiarkan memutih.

Terus memanjang dan cenderung liar tak terpelihara.

Ayah dua anak ini, lahir di Parepare, tahun 1948.

Baca juga: Ole Romenij, Tim Geypens, Dion Markx Resmi WNI, Siap Bawa Timnas Berprestasi

Baca juga: Proyek IKN Tahap II Berlanjut, Otorita IKN : Fokus Kawasan Perkantoran Legislatif dan Yudikatif

“Saya ikut bapak yang tugas di sana,” ujarnya mengenang mendiang ayahnya, Syamsu Alam Puang Tiwi.

Sang ayah adalah sekretaris kepala daerah pertama kabupaten Gowa, 1959 hingga 1965.

“Bupatinya, masih Sombayya (Andi Idjo Karaeng Lalolang 1957-1960) dan di masa Andi Tau (1960-1966),” ujar Kak Am.

Sebelum memutuskan jadi seniman perupa, Kak Am kerja sebagai konsultan proyek.

Berbekal ilmu 5 semester dari arsitek, saat kampus Universitas Hasanuddin masih di Barayya, Bontoala, Kak Am mendirikan usaha jasa konsultan CV 15 Maret.

"Karena orang pemerintah mulai minta banyak komisi, saya berhenti." ujarnya.

Jebol di Unhas, tahun 1969, Kak Am memilih kuliah di Akademi Seni Makassar. 

Ini kampus seni pertama di timur Indonesia. "Kampusnya dibangun Pak Patompo dari uang  Lotto." 

HM Dg Patompo adalah walikota ke-12 Makassar (1965-1978). 

Kak Am, bercerita, karena melegalkan judi, Lotere Totalisator (Lotto) tahun 1967, Patompo disamakan dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1978).

"Tapi karena lebih dulu pakai uang judi untuk bangun akademi seni, Pak Patompo justru berkelakar; “Ali Sadikin itu Patompo-nya Jakarta."
Kutipan Kak Am ini mengutip kelakar Patompo, dengan merujuk buku karya Salim Said; Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013).

Kak Am mengenang, dari akademi seni makassar itulah dia menjadi perupa.
Dia menyebut, dengan latar belakang ilmu rancang bangun dan tata ruang saat kuliah arsitek di Unhas, kerja-kerja pematung menjadi lebih mudah.

Namun, karena kontroversi judi Lotto mulai jadi isu politik jelang pemilu 1970, akhirnya pemerintah pusat membatalkan judi lotto tahun 1969.

"Ya, kuliah saya juga di ASM juga bubar. Gaji dosen, listrik kampus di Jl Irian tak bisa lagi dibayar Pak Patompo."

Kadung jatuh cinta dengan seni patung dan melihat ada peluang bertahan hidup, Kak Am memutuskan jadi perupa.

Perkenalannya dengan jurnalis cum seniman, MS Syam kian menguatkan visi budaya dan misi berkesinian Kak Am.

"Almarhum itu salah satu pendiri ISI (institut seni indonesia) Jogya. Ia maha guru banyak seniman Sulsel, termasuk saya." 

Tahun 1980-an, kala pembangunan fisik meluas ke kabupaten kota, patung mulai jadi ikon daerah.

Pengalaman sebagai konsultan memudahkan dia berkolaborasi dengan sejumlah seniman perupa lain.

"Patung patung ikon daerah di Parepare, Barru, Luwu, Polmas, Toraja, Gowa, Ujungpandang hingga Bulukumba adalah karya-karya kami," ujar Kak Am.

Tentang kiprah perupa Kak Am, Dr Thamrin Mappalahere (67) memberi kesan.

"Kak Am itu sosok kreatif dalam diam. Dia teman dialog dan bekerja yang baik." ujar perupa sekaligus akademisi UNM ini kepada Tribun, Jumat (7/2/2025).

Selain Thamrin, perupa sebaya Kak Am antara lain Dr Dicky Tjandra (69), pematung selamat datang Makassar di Jl Riburane dan Colliq Pudjie di Barru.
Kak Am juga sebantaran dan kerap diskusi budaya dengan pematung otodidak asal Gowa H. Abdul Kadir Dg Tunru (71).

Dg Tunru inilah pembuat "Patung Massa" di pertigaan Paccinnongang, Somba Opu Gowa.

Bagi Kak Am, mematung bukan sekadar rekonstruksi gambar menjadi sculpture.

Bagian tersulit dari patung, jelasnya, adalah "melatakkan" roh dalam karya.

"Bagian itu di muka, ekspesi,  dan postur. Mendalami karakter obyek patung bagian tersulit lainnya."

Dibutuhkan riset, bacaan, sejarah, opini, konteks patung itu dibuat.

"Kadang Kak Am, diskusi banyak dengan tokoh, akademisi, subyek bahkan hingga kerabat," ujar Dr Halilintar Latief MA, sahabat Amrullah.

Dr Halilintar adalah budayawan, akademisi UNM, sekaligus peneliti seni dan budaya yang sudah 50 tahun lebih membersamai Amrullah.

Bersama Amrullah, Dr Halilintar menjadi pembina di Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sulsel.

Bahkan, tambah AGH Abdul Rahman Asseggaf Puang Makka, seni bagi Kak Am adalah juga urusan langit.

 "Sebelum berkarya, Kak Am bisa melibatkan Tuhan." ujar Puang Makka, sahabat diskusi Amrullah di kawasan Benteng Somba Opu, dekade awal 1990-an.

Kini di usia senjanya, Amrullah Syam, mulai banyak mendekatkan diri ke Tuhan.

Puang Makka menyebut, mendoang ayah Amrullah Syam, adalah salah satu perintis organisasi PMII dan Ansor NU di Sulsel, dekade 1950-an.

"Seperti ayah Kak Halilintar Latief, Puang Tiwi itu adalah sahabat Abah saya. Mereka pejuang NU di Sulsel." 

Baitul Izzah, rumah zikir di Jl Baji Bicara, adalah salah satu venue diskusi dan menghabiskan waktu bagi Kak Am. (*)