Dia menjelaskan, selama ini bank swasta lebih fleksibel mengelola kredit macet dibandingkan bank BUMN.
Bank swasta bisa melakukan hapus buku terlebih dahulu, yaitu menghapuskan utang tersebut dari pembukuan mereka meskipun debitor tetap memiliki kewajiban untuk membayar.
Setelah itu, jika masih dianggap tidak dapat ditagih, mereka bisa melanjutkan ke proses hapus tagih, yang berarti penghapusan total kewajiban utang, yang pada umumnya dilakukan jika bank sudah sangat yakin bahwa utang tersebut memang tidak akan bisa tertagih lagi.
Sementara untuk bank BUMN, mereka juga bisa melakukan hapus buku.
Namun, untuk proses hapus tagih sering kali terhambat oleh kekhawatiran bahwa tindakan tersebut bisa dianggap merugikan keuangan negara.
Pasalnya, bank BUMN sebagai lembaga yang dikelola oleh negara memiliki pertanggungjawaban yang lebih besar terhadap penggunaan dana negara dan sering kali memerlukan kebijakan yang lebih hati-hati dalam hal penghapusan utang.
"Kalau bank swasta bisa lakukan dengan fleksibel, tapi kalau bank BUMN itu bisa melakukan hapus buku tapi mereka takut melakukan hapus tagih. Karena masih ada kebimbangan apakah hapus tagih itu kemudian bisa dianggap merugikan keuangan negara," jelasnya.
Dia menegaskan, meski nantinya bank-bank BUMN bisa melakukan hapus buku, namun hanya dapat dilakukan kepada utang yang nilainya kecil seperti UMKM dan utang yang usianya sudah lama.
"Untuk menjaga moral hazard, makanya jumlahnya kan untuk yang kecil-kecil saja," tuturnya.
(Kompas.com/ Fika Nurul Ulya, Rully R. Ramli)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bank Mandiri Pastikan Penghapusan Utang Macet UMKM Tidak Berdampak ke Kinerja Keuangan ", "Prabowo Hapus Utang UMKM: Dari Kriteria, Besaran, dan Harapan Petani Bisa Bernapas Lega", dan "Prabowo Teken PP Hapus Tagih Utang UMKM, OJK: Berikan Kepastian Hukum bagi Bank BUMN"