TRIBUN-SULBAR.COM - Gempa magnitudo 6,2 yang terjadi di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat pada Januari 2021 lalu ternyata berpotensi berdampak panjang.
Menurut penelitian terbaru, gempa yang terjadi di Mamuju dan Majene itu telah merobek sebagian segmen dari Makassar Strait Thrust.
Hal ini kemudian mengaktifkan struktur sesar sekunder yang berpotensi menjadi sumber gempa di masa depan dengan bahaya ikutan tsunami hingga pesisir timur Kalimantan.
Gempa yang melanda Mamuju dan Majene kala itu memang sangat besar.
Data BPD Menunjukkan bahwa lebih dari 100 korban jiwa, dengan lebih dari 7.800 rumah rusak dan sekitar 37.000 orang mengungsi.
Bahkan gedung kantor Gubernur Sulbar hingga kantor Bupati mamuju ambruk.
Berdasarkan liputan Kompas.id, hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Geophysical Journal International pada Juni 2023, tetapi edisi daringnya bisa diakses Kamis (16/2/2023).
Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjadi penulis pertama paper ini.
Studi ini merupakan riset multidisiplin dengan melibatkan para peneliti lain dari Nanyang Technological University, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), University of Cambridge, dan University of Bergen.
Kajian sebelumnya oleh Pepen Supendi dari BMKG dan tim di jurnal Earth, Planets, and Space (2021) yang merelokasi sumber gempa awal dan gempa susulan antara tanggal 14 dan 20 Januari 2021 menunjukkan, gempa ini terjadi di dua bidang patahan yang berbeda, yaitu Mamuju Thrust dan Makassar Strait Thrust. Gempa bumi mengganggu keadaan tegangan segmen patahan terdekat dan menyebabkan bidang patahan kemudian pecah.
Menurut Irwan dan tim, saat terjadi gempa pada 2021, pemerintah dan peneliti di Indonesia masih belum bisa menjelaskan dengan baik keberadaan dua sumber gempa ini (Mamuju Thrust atau Makassar Strait Thrust).
”Gempa itu menimbulkan pertanyaan tentang bahaya seismik di wilayah Mamuju dan Majene yang masih kurang dipahami,” sebut Irwan dan tim.
Dalam studi baru ini, Irwan dan tim menggunakan data seismik dan global positioning system (GPS) untuk menyelidiki karakteristik sumber guncangan utama.
”Pertama, kami menggunakan data teleseismik untuk memperkirakan mekanisme fokus kejutan utama dan distribusi slip coseismic,” katanya.
Tim peneliti kemudian merelokasi beberapa gempa susulan baru yang belum dianalisis dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
”Kedua, kami menentukan bidang patahan yang pecah selama peristiwa kejut utama dengan membandingkan perpindahan sintetik berbasis teleseismik dengan data GPS kami,” katanya.
Selain mempelajari mekanisme patahan yang mendasarinya, tim peneliti juga membuat peta proksi kerusakan menggunakan data Sentinel-1 Synthetic Aperture Radar (SAR), yang memungkinkan mereka mengevaluasi efek guncangan utama pada bangunan yang rusak. Terakhir, mereka menganalisis laju regangan menggunakan kecepatan GPS interseismik untuk mengevaluasi potensi bahaya seismik ke depan di wilayah Mamuju dan Majene.
Risiko ke depan
Hasil analisis tim peneliti menunjukkan bahwa guncangan utama gempa pada 2021 telah memecahkan sebagian segmen Makassar Strait Thrust dan mengaktifkan struktur sesar sekunder.
Sesar sekunder ini kemungkinan membawa bagian updip (batuan atas) yang tidak pecah ke dalam kondisi mendekati runtuh sehingga berpotensi menjadi sumber gempa di masa depan.
Tim peneliti menambahkan, analisis kecepatan GPS interseismik menunjukkan bahwa wilayah Mamuju dan Majene memiliki laju regangan kerak yang lebih tinggi daripada wilayah terdekat lainnya. Sebagian segmen MST (bagian atas) yang tidak pecah dan tingkat regangan yang tinggi di wilayah Mamuju dan Majene bersama-sama menunjukkan potensi bahaya seismik yang signifikan di Sulawesi Barat.
Bagian atas segmen patahan yang tidak pecah ini dapat menghasilkan gempa bumi di masa depan yang serupa atau lebih besar dari gempa bumi Mamuju 2021.
Menurut analisis Irwan dan tim, bagian atas segmen patahan yang tidak pecah ini dapat menghasilkan gempa bumi di masa depan yang serupa atau lebih besar dari gempa bumi Mamuju 2021. Gempa bumi yang lebih besar di masa depan ini berpotensi menimbulkan bahaya sekunder bagi masyarakat pesisir, baik di sepanjang pantai barat Sulawesi maupun pantai timur Kalimantan, seperti tsunami yang dipicu tanah longsor bawah laut.
Ancaman Tsunami
Peneliti BRIN, Nugraha, dan tim (Journal of the Geological Society, 2020) juga mengidentifikasi satu bekas longsor bawah laut, yang dikenal sebagai longsoran Haya, yang terletak sekitar 30 km di sebelah barat lokasi episentrum gempa M 7 yang melanda kawasan ini pada 1969. Peristiwa gempa saat itu diikuti oleh tsunami yang menewaskan 64 orang.
Ancaman tsunami di kawasan ini juga dilaporkan oleh Ignatius R Pranantyo dan tim (Geoscience Letter, 2021) berdasarkan pemodelan tsunami menggunakan dua skenario longsor bawah laut yang berbeda di Selat Makassar. Skenario pemodelan tsunami pertama menghasilkan amplitudo tsunami maksimum 2,9 dan 1,1 meter di pantai barat Sulawesi dan pantai timur Kalimantan. Skenario tsunami kedua menghasilkan amplitudo tsunami maksimum 11 dan 4,3 meter di pantai barat Sulawesi dan pantai timur Kalimantan.
Menurut Irwan dan tim, rencana Pemerintah Indonesia untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur membuat wilayah ini perlu diteliti lebih lanjut mengingat potensi peningkatan jumlah penduduk di daerah tersebut.
Berita ini telajh tayang di Kompas.id dengan judul https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/02/16/gempa-m-62-mamuju-pada-2021-mengaktifkan-sesar-sekunder-bisa-jadi-sumber-bahaya-ke-depan