Berita Mamuju

Awal Kasus Alih Fungsi Lahan Hutan Lindung yang Jerat Wakil Ketua DPRD Mamuju Andi Dodi Hermawan

Penulis: Abd Rahman
Editor: Ilham Mulyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil ketua DPRD Mamuju Andi Dodi Hermawan ditahan Kejati Sulbar

 

TRIBUN-SULBAR.COM - Wakil Ketua DPRD Mamuju, Andi Dodi Hermawan (ADH) ditahan atas kasus alih fungsi lahan hutan lindung jadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Desa Tadui, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

Dia tak sendiri, bersamanya ikut pula ditahan AN mantan kepala kantor pertanahan Mamuju, dan SB mantan kepala Desa Tadui.

Dalam kasus ini, ADH merupakan pemilik SPBU tersebut.

Baca juga: Wakil Ketua DPRD Mamuju Andi Dodi Hermawan Ditahan Kasus Alih Fungsi Hutan Lindung Jadi SPBU

Baca juga: BREAKING NEWS: 3 Tersangka Alih Fungsi Hutan Lindung Jadi SPBU Tadui Mamuju Ditahan

Mereka ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Barat

Kepala Kajati Sulbar Didik Istiyanta mengatakan, para tersangka telah melakukan penerbitan sertifikat tanah terhadap hutan negara fungsi hutan lindung.

"Lahan tersebut digunakan untuk pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Mnyak (SPBU), dan itu merugikan keuangan negara," kata Didik saat press liris di kantor Kajati Sulbar, Jl RE Martadinata, Mamuju, Kamis (20/7/2022).

Tiga tersangka kasus alih fungsi hutan Lindung jadi SPBU Tadui, Mamuju, saat berada di Kajati Sulbar, , Jl RE Martadinata, Simboro, Mamuju, Kamis (20/7/2022). (Tribun Sulbar / Abd Rahman)

Didik menyebutkan, akibat perbuatanya tiga tersangka merugikan negara mencapai Rp 2,8 miliar.

Pasal yang disangkakan yakni pasal 2 ayat 1 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mereka kemudian dibawa ke Rutan Kelas IIIB Rutan Mamuju dengan menggunakan mobil tahanan Kajati Sulbar.

Para Tersangka ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Nomor: PRINT – 497 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, PRINT – 498 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, PRINT – 499 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, tanggal 21 Juli 2022 di Rutan Kelas IIB Mamuju selama 20 hari terhitung mulai hari ini.

Menurut keterangan dari pihak Kejati Sulbar, penahanan dilakukan melalui dua pertimbangan.

Pertama alasan Objektif, pasal yang disangkakan kepada para tersangka adalah pasal yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun vide pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP.

Kemudian kedua adalah alasan subyektif, yakni kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri dan merusak atau menghilangkan barang bukti, serta mempengaruhi saksi-saksi lainnya.

Awal Kasus Alih Fungsi Lahan

Kepala Kajati Sulbar Didik Istiyanta menjelaskan, tersangka ADH membeli lahan dalam kasus hutan lindung pada tahun 2016 terletak di Desa Tadui, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju.

Dengan maksud, akan membangun usaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) atas permintaan tersangka ADH.

"Kepala Desa Tadui SB menerbitkan Sporadik yang statusnya dicantumkan sebagai tanah negara bebas, padahal diketahui lokasi tersebut adalah kawasan hutan," terang Didik.

Kata dia, berdasarkan Sporadik tersebut, ADH mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat kepada Kepala BPN Mamuju HN.

Kemudian, TIM A (Pemeriksa Tanah) pada tahun 2017 yang diangkat oleh HN ditugaskan untuk memberikan rekomendasi persyaratan diterbitkannya status kepemilikan.

Namun, MN sebagai TIM A tidak melaksanakan tugasnya mengadakan penelitian dan pengkajian mengenai status tanah, apakah masuk dalam kawasan hutan atau tidak.

Padahal MN mengetahui bahwa yang dapat menggugurkan permohonan untuk penerbitan sertifikat tanah adalah salah satunya merupakan Kawasan hutan lindung.

Pada tahun 2019 di atas lahan Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 611 tersebut, Andi Dodi membangun SPBU.

ADH telah mendapat kepastian informasi tentang kawasan hutan dari notaris.

"Namun tersangka ADH tidak menggubris adanya pengeluaran luas lahan tersebut," jelasnya.

SPBU yang dibangun dan dikelola sampai saat ini, bahkan di atas lahan tersebut seperti rumah makan dan bangunan yang kemudian disewakan sebagian lahannya untuk minimarket Indomaret.

Didik membeberkan, atas penguasaan tanah dalam kawasan hutan lindung tersebut, negara dirugikan senilai Rp 8,2 miliar.

Adapun, pasal yang disangkakan Pasal 2 ayat (1) subs Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara, dan denda maksimal Rp 1 miliar.(*)