Pemerintah Izinkan PTM 100 Persen di Sekolah, Angka Putus Sekolah Jadi Alasan, Benarkah?

Penulis: Suandi
Editor: Hasrul Rusdi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pembelajaran tatap muka terbatas di SD Inpres Rimuku, Mamuju masih terapkan prokes ketat, Senin (3/1/2022).

TRIBUN-SULBAR.COM - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyampaikan alasan terkait dengan terbitnya kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen di sekolah.

Melalui Sekjen Kemendikbud Ristek, Suharti menjelaskan, salah satu alasan pihak pemerintah memperbolehkan PTM digelar dengan kapasitas 100 persen lantaran pertimbangan situasi Pandemi Covid-19 yang membaik pada akhir tahun 2021 lalu.

Bahkan situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah di Indonesia juga sudah menurun.

Tak hanya itu, selama pandemi Covid-19 dunia pendidikan banyak mendapatkan dampak negatif.

Salah satu diantaranya adalah angka putus sekolah yang meningkat untuk jenjang Sekolah Dasar (SD).

ILUSTRASI Varian Omicron. Studi menemukan masa inkubasi varian Omicron hanya 3 hari. (kompas.com)

Baca juga: Kemdikbud Ristek: PTM Harus Digelar Guna Menghindari Memburuknya Psikis Anak dan Learning Loss

Baca juga: PTM Terbatas Perguruan Tinggi Harus Segera Dilakukan, Berikut Teknis Penyelenggaraannya

Suharti juga menyampaikan bahwa banyak mahasiswa yang kemudian menjadi tidak aktif kuliah.

"Sebagai contoh saja anak-anak yang putus sekolah untuk anak SD saja ini meningkat 10 kali lipat dibanding tahun 2019," kata Suharti.

Lebih lanjut, Suharti mengungkapkan banyak orang tua yang mendapatkan tekanan ekonomi ketika pandemi Covid 19.

Sehingga banyak dari orang tua yang kemudian mengajak anaknya untuk membantu bekerja atau mencari uang.

"Kemudian ada juga orangtua yang merasa pembelajaran jarak jauh yang diikuti oleh anaknya tidak memberikan kemampuan bagi mereka, dan merasa sama saja anak-anak tidak sekolah, jadi mereka juga tidak menyekolahkan anaknya," tuturnya.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bank Dunia atau World Bank menunjukkan terjadi penurunan kemampuan siswa selama periode pandemi Covid-19.

Terdapat pula kesenjangan pembelajaran antara anak-anak dari keluarga kaya dan miskin. Bank Dunia mengklaim kesenjangan tersebut mencapai 20 persen.

Sedangkan, berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek menunjukkan terdapat sejumlah resiko eksternal yang dialami oleh anak-anak didik selama Pandemi Covid-19.

"Termasuk didalamnya bertambahnya kekerasan dalam rumah, kemudian juga risiko pernikahan anak, eksploitasi anak ini meningkat cukup tinggi," ungkapnya.

Kini, pihak Kemdikbud Ristek tengah berupaya melakukan perbaikan guna memulihkan pembelajaran anak-anak dengan kembali menggelar PTM.

Halaman
12