Opini

Demo Bubarkan DPR 25 Agustus: Antara Kekecewaan Publik dan Urgensi Reformasi Legislatif

Di tengah situasi politik memang  kurang kondisif. Terlepas dari itu semua, kita menelaah nilai positif dari tuntutan bubarkan DPR.

Editor: Nurhadi Hasbi
Istimewa
Muhammad Yusuf, SH, MH (Alumni Hipermaju, Pemerhati Hukum Tata Negara) 

Oleh: Muhammad Yusuf, SH, MH
(Alumni Hipermaju, Pemerhati Hukum Tata Negara)

RENCAMA demonstrasi besar-besaran bertajuk “Bubarkan DPR” hari ini 25 Agustus 2025 menjadi sorotan publik.

Seruan yang viral di media sosial, disebarkan oleh akun Ferry dan disukai lebih dari 59.400 kali dengan 8.500 komentar, mencerminkan kekecewaan mendalam masyarakat terhadap kinerja DPR RI.

Pemicunya jelas, kenaikan tunjangan DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat.

Ketika daya beli menurun dan angka pengangguran meningkat, publik justru disuguhi kabar bahwa anggota DPR mendapat fasilitas dan tunjangan mencapai Rp120 juta per bulan. 

Ketimpangan ini memantik kemarahan dan memperkuat persepsi bahwa DPR semakin jauh dari rakyat yang diwakilinya.

Demonstrasi yang mengusung tuntutan bubarkan DPR juga tidak lepas dari issu, aksi ini di tunggangi, ada kelompok merongrong pemerintah dan sebagainya.

Di tengah situasi politik memang  kurang kondisif. Terlepas dari itu semua, kita menelaah nilai positif dari tuntutan bubarkan DPR.

Namun, persoalannya lebih dalam: apakah benar DPR bisa dibubarkan? 

Atau justru demonstrasi ini seharusnya menjadi momentum reformasi struktural terhadap DPR dan DPRD?

DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Tapi Harus Ditekan.

Secara konstitusional, pembubaran DPR oleh Presiden tidak dimungkinkan.

UUD 1945 Pasal 7C menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.”

Dalam sistem presidensial, DPR dan Presiden adalah lembaga sejajar dengan mandat lima tahun.

Artinya, jalan satu-satunya untuk mengganti DPR adalah melalui pemilu, bukan dekret, bukan pula demonstrasi.

Namun, fakta bahwa DPR tidak bisa dibubarkan tidak berarti publik tidak berhak marah.

Justru, demonstrasi menjadi alarm keras tentang krisis kepercayaan rakyat.

Sayangnya, masalah ini tidak hanya terjadi di pusat, tapi juga mulai merembet ke faerah menyoal DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Krisis Kepercayaan: DPR dan DPRD dinilai Sama-sama Gagal

DPR Pusat: Fasilitas Tinggi, Empati Rendah

Kabar kenaikan tunjangan DPR menimbulkan jurang psikologis antara rakyat dan wakilnya. 
Meskipun pimpinan DPR berdalih bahwa yang naik hanya tunjangan, bukan gaji pokok, persepsi publik sudah terbentuk: DPR lebih sibuk mengurus kenyamanan sendiri dibanding nasib rakyat.

Bahkan, gaya hidup hedon sebagian anggota DPR, mulai dari joget di sidang hingga pamer kemewahan di media sosial, semakin memperlebar jarak dengan publik.

DPRD: Fungsi Terkikis Pasca UU 23/2014

Kekecewaan publik juga merembet ke DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Pasca UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, peran DPRD cenderung dikerdilkan:

Kewenangan anggaran melemah, peran DPRD dalam pembahasan APBD semakin terbatas.

Banyak Perda dibatalkan pusat, otonomi daerah menjadi semu, DPRD kehilangan pengaruh legislasi.

Fungsi pengawasan melemah, banyak DPRD gagal mengontrol kepala daerah karena kompromi politik dan kepentingan pragmatis.

Ironisnya, meski peran DPRD melemah, tunjangan mereka tetap fantastis.

Di beberapa daerah, anggota DPRD menerima Rp35–45 juta per bulan melalui gaji, tunjangan rumah, transportasi, komunikasi, dan reses. 

Namun, kinerja mereka tidak sebanding dengan beban anggaran rakyat

Arah Perubahan: Dari Demo ke Reformasi Struktural

Membubarkan DPR mungkin tidak bisa dilakukan, tetapi memperbaikinya wajib diperjuangkan.

Demonstrasi 25 Agustus 2025 seharusnya menjadi titik awal lahirnya agenda reformasi legislatif nasional.

Ada beberapa langkah nyata:

1. Transparansi Anggaran dan Tunjangan

DPR dan DPRD wajib membuka detail gaji, tunjangan, dan penggunaan anggaran secara publik. Transparansi adalah syarat utama untuk memulihkan kepercayaan.

2. Penguatan Fungsi Pengawasan

DPR dan DPRD harus berani menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk melawan kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.

3. Amandemen UUD 1945 untuk Mekanisme Recall

Kita butuh mekanisme recall publik agar rakyat bisa mencopot anggota DPR dan DPRD yang tidak menjalankan amanah. Inilah langkah konstitusional untuk memastikan wakil rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat.

4. Mendorong Tekanan Publik yang Terstruktur

Demo hanyalah satu bagian. Setelah aksi jalanan, gerakan sipil perlu diarahkan ke:

Petisi nasional untuk reformasi DPR dan DPRD.

Judicial review atas UU yang melemahkan peran legislatif daerah.

Forum publik dan audiensi antara DPR, DPRD, akademisi, dan masyarakat.

Kesimpulan

Seruan “Bubarkan DPR” pada momentum Hut RI 80 2025 adalah cermin kemarahan rakyat, di tengah gempitah kemerdekaan, ini  bukan sekadar provokasi. 

Namun, membubarkan DPR jelas tidak konstitusional.

Yang lebih penting adalah menjadikan momen ini sebagai awal reformasi legislatif nasional, baik di tingkat DPR RI maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Jika kita hanya berhenti pada teriakan pembubaran, masalahnya tidak akan selesai.

Tetapi jika energi demo diarahkan pada reformasi struktural, maka DPR dan DPRD bisa kembali menjadi rumah rakyat, bukan sekadar “klub elit politik”.

Begitupun di Provinsi Sulawesi Barat. Di tuntut agar dapat mereformasi kinerja DPRD, di harapkan dapat lebih mengoptimalkan peran dan Fungsinya sebagai lembaga penggawas untuk kesejatraan Masyarakat di Tanah Mandar.

“Reformasi legislatif bukan pilihan, tapi keniscayaan demokrasi dan demi legitimasi publik yang di wakilinya.”

(*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Stunting Intelektual 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved