Opini
Belajar Tanpa Guru : Mungkinkah Generasi Kita Bertahan?
Pertanyaan besar pun muncul: di era digital ini, masihkah guru dibutuhkan? Atau mungkinkah generasi kita belajar tanpa guru?
Penulis : Dr. Elinda Rizkasari, S.Pd., M.Pd.
(Dosen Prodi PGSD Universitas Slamet Riyadi Surakarta)
Belum lama ini, seorang siswa SMA di Jakarta dengan bangga mengaku bahwa ia lebih suka belajar matematika lewat YouTube dan TikTok daripada mendengarkan gurunya di kelas. Alasannya sederhana: “Lebih cepat paham dan tidak membosankan.”
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak anak sekarang lebih percaya pada konten singkat di media sosial atau aplikasi kecerdasan buatan (AI) ketimbang bimbingan guru.
Pertanyaan besar pun muncul: di era digital ini, masihkah guru dibutuhkan? Atau mungkinkah generasi kita belajar tanpa guru?
Perubahan besar dalam dunia pendidikan memang tak terelakkan. Kehadiran teknologi digital, platform belajar daring, hingga AI menghadirkan akses informasi yang luar biasa cepat.
Namun, di balik kemudahan itu terselip tantangan besar: ketika peran guru direduksi hanya sebagai pengawas ujian atau pengisi absen, sementara murid mengandalkan “guru virtual” yang selalu tersedia 24 jam.
Data global terbaru pun menunjukkan pergeseran ini nyata. Survei PISA 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dalam literasi membaca dan sains, meskipun akses gadget semakin luas.
UNICEF (2023) bahkan menemukan 6 dari 10 anak Indonesia lebih sering mencari jawaban tugas lewat internet dibanding berdiskusi dengan guru.
Di sisi lain, laporan UNESCO (2024) menekankan bahwa anak-anak yang belajar tanpa interaksi sosial dengan guru cenderung mengalami penurunan empati, rendahnya kemampuan berpikir kritis, serta kurangnya keterampilan kolaborasi.
Pertanyaannya, apakah kita hanya butuh transfer pengetahuan? Jika benar begitu, mungkin mesin pencari dan AI sudah cukup menggantikan guru. Tetapi pendidikan bukan sekadar kumpulan fakta. Ia adalah proses pembentukan karakter, nilai, dan empati.
Guru hadir bukan hanya untuk mengajar rumus matematika, tetapi juga memberi teladan tentang kejujuran, kesabaran, disiplin, dan kepedulian.
Ironisnya, sistem pendidikan kita masih terjebak pada angka dan ujian. Murid yang cerdas diukur dari nilai rapor, bukan dari daya juang atau kepeduliannya pada sesama.
Akibatnya, ketika anak menemukan jalan pintas lewat teknologi, ia merasa cukup dengan hasil instan, tanpa melewati proses pembelajaran yang membentuk karakter. Inilah yang disebut para ahli sebagai “generasi serba cepat tapi rapuh.”
Guru tetaplah kunci, tetapi perannya memang harus berubah. Guru tidak lagi bisa hanya berdiri di depan kelas sebagai “sumber utama ilmu”.
Mereka harus menjadi fasilitator, mentor, dan pendamping yang membimbing murid menyeleksi informasi di tengah banjir data. Guru harus bertransformasi menjadi inspirator yang menanamkan nilai, bukan sekadar pengajar materi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.