Opini

Efisiensi ala Prabowo

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah cermin paling nyata.

Editor: Nurhadi Hasbi
Muhammad Aras Prabowo
INTELEKTRUAL MUDA NU - Intelektual muda NU Muhammad Aras Prabowo menilai kebijakan terbaru Bulog wajib membeli Gabah Kering Panen (GKP) petani dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa syarat kualitas adalah langkap positif. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani 

Oleh: Muhammad Aras Prabowo
(Ekonom UNUSIA)

Kata “efisiensi” selalu terdengar manis di telinga. Ia sering dipakai pemerintah untuk menunjukkan kesungguhan menghemat anggaran, mengurangi pemborosan, dan menata ulang kebijakan fiskal.

Namun di balik jargon itu, muncul ironi: efisiensi yang digadang-gadang ternyata tidak benar-benar menyentuh inti persoalan rakyat.

Ia justru menjelma menjadi tameng bagi elite untuk memperkuat kedudukannya, sementara rakyat kecil yang seharusnya menjadi prioritas kian tersisih.

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah cermin paling nyata.

Setiap tahun, pemerintah bicara soal ketatnya ruang fiskal, tentang betapa efisiensi perlu dilakukan agar pembangunan tetap berlanjut.

Namun ketika rakyat menengok isi kebijakan, yang tampak justru keberpihakan pada kelompok elit.

Anggaran efisiensi digunakan untuk menjustifikasi berbagai kebijakan yang menguntungkan segelintir pejabat, bukan rakyat luas.

Lihat saja kebijakan kenaikan gaji hakim yang mencapai hampir 280 persen.

Publik tentu berharap kenaikan itu bisa memperkuat integritas lembaga peradilan, agar hakim tak lagi tergoda suap.

Tetapi fakta di lapangan menunjukkan, banyak hakim justru terjerat kasus korupsi. Gaji yang besar tidak serta-merta membuat sistem lebih bersih.

Tanpa reformasi menyeluruh, kenaikan gaji hanya menambah beban negara, tanpa menjamin keadilan ditegakkan.

Ironisnya, langkah besar ini ditempuh dengan alasan efisiensi, seolah menutup mata pada kebutuhan yang jauh lebih mendesak.

Fenomena serupa terjadi di legislatif. Kasus dugaan korupsi berjamaah terkait dana CSR Bank Indonesia yang menyeret sejumlah anggota DPR semakin memperburuk citra lembaga wakil rakyat.

Namun di saat kepercayaan publik runtuh, justru muncul kebijakan menaikkan tunjangan rumah bagi para legislator.

Bagi masyarakat, ini adalah luka yang menganga: bagaimana bisa efisiensi diterjemahkan sebagai tambahan fasilitas bagi lembaga yang sedang diguncang kasus korupsi? Bukankah efisiensi seharusnya dipakai untuk memperbaiki layanan publik, bukan memperkokoh kenyamanan elit?

Tak berhenti di situ. Banyak wakil menteri kini merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.

Pemerintah beralasan, hal itu bagian dari strategi efisiensi menghapus tantiem, mengganti dengan pengawasan struktural.

Tetapi publik memandangnya lain. Rangkap jabatan jelas menimbulkan konflik kepentingan.

Bagaimana bisa seorang pejabat yang harus mengawasi jalannya pemerintahan sekaligus duduk di kursi pengelola BUMN? Efisiensi semacam ini hanyalah kamuflase untuk mengukuhkan patronase politik.

Sementara para elit menikmati gaji, tunjangan, dan jabatan yang terus bertambah, di akar rumput nasib guru honorer justru memprihatinkan.

Banyak dari mereka belum menerima gaji berbulan-bulan, bahkan ada yang menunggu haknya bertahun-tahun tanpa kepastian.

Di beberapa daerah, guru P3K dan honorer tetap mengajar meski gaji tak kunjung cair. Ada yang meninggal dunia sebelum haknya dibayarkan.

Mereka adalah wajah asli pengabdian, yang rela bertahan demi mencerdaskan bangsa meski hak dasarnya diabaikan.

Di titik inilah ironi efisiensi paling terasa: negara begitu cekatan mengurus tunjangan elit, tetapi gagap memenuhi hak tenaga pendidik.

Kebijakan efisiensi ala pemerintah hari ini tampak lebih sebagai slogan politik daripada instrumen reformasi.

Ia dijadikan legitimasi untuk menghapus tantiem komisaris, untuk menaikkan gaji hakim, atau untuk merangkapkan jabatan wakil menteri.

Semua dibungkus dengan dalih penghematan, padahal substansinya justru memperluas ruang bagi elit untuk mempertahankan posisi.

Efisiensi yang demikian bukanlah efisiensi yang berpihak pada rakyat, melainkan efisiensi yang melanggengkan status quo.

Padahal, setelah delapan puluh tahun kemerdekaan, bangsa ini seharusnya sudah mampu menetapkan prioritas dengan jelas: menyejahterakan rakyat, memperkuat pendidikan, memastikan keadilan sosial. Tetapi kenyataan justru berbanding terbalik.

Para pengabdi di sekolah negeri, madrasah, hingga pesantren masih harus menjerit karena gajinya tertunggak.

Sementara itu, para pejabat dengan mudah menikmati tambahan fasilitas dan jabatan bergengsi.

Ironi inilah yang harus kita sadari bersama. Efisiensi sejati bukan sekadar memangkas biaya atau memindahkan anggaran.

Efisiensi adalah seni memilih prioritas: siapa yang harus diutamakan, siapa yang bisa menunggu. Jika yang diutamakan justru para elit, maka efisiensi kehilangan makna.

Ia menjadi sekadar kata kosong yang menjauhkan negara dari rakyatnya.

Kini, menjelang perayaan 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini seharusnya bercermin.

Apakah kemerdekaan sudah benar-benar menghadirkan keadilan sosial? Apakah efisiensi sudah dijalankan dengan keberpihakan pada rakyat? Atau justru kita terjebak dalam lingkaran ironis, di mana efisiensi hanya jadi dalih untuk memperkaya elit dan menyingkirkan kepentingan rakyat kecil?

Sudah saatnya efisiensi ditafsirkan ulang. Ia harus dikembalikan pada tujuan mulianya: memastikan setiap rupiah uang rakyat dipakai untuk kepentingan rakyat.

Tanpa itu, efisiensi hanya akan menjadi ironi indah di atas kertas, tetapi menyakitkan dalam kenyataan.(*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved