Harga Beras Naik

Harga Beras di Sulbar dan Sulsel Meroket, Pengamat: Bulog Jangan Main‑Main!

Regulasi itu memerintahkan penguatan peran produsen, distributor, dan pengecer melalui sistem pelaporan digital untuk 12 komoditas, termasuk beras

Editor: Ilham Mulyawan
FAHRUN RAMLI
HARGA BERAS- Warga saat membeli beras di Kompleks Pasar Sentral Pekkabata, Polman, Sulbar, harga beras di salah satu pedagang pasar kini tembus Rp 410 ribu untuk kemasan 25 kilogram, Sabtu (5/7/2025). Dok Fahrun. 

TRIBUN-SULBAR.COM -- Kenaikan harga beras di Sulawesi Selatan dan Sulawesi barat pada awal Juli meski stok regional dinyatakan “aman” membuka mata publik bahwa persoalan pangan kita bukan pada ketersediaan, melainkan pada tata kelola distribusi dan perilaku pelaku pasar.

Kabupaten Mamuju misalnya, Harga beras 25 kilogram tembus Rp405 ribu per karung kemudian Majene Rp400 ribu.

Namun justru Harga beras di Mamuju Tengah lebih tinggi lagi Rp420 ribu untuk 25 kilogram.

Pengamat Ekonomi UNUSIA Muhammad Aras Prabowo menilai tidak kunjung turunnya stok SPHP Bulog sebagai penyebab lonjakan harga di lapangan.

Baca juga: Stok Beras Menipis Picu Harga Beras Naik Tembus Rp 16 Ribu di Kabupaten Polman

Baca juga: Harga Beras Naik di Pasangkayu, Diduga Dampak dari Kenaikan Harga Penyuplai

"Ironisnya, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja memperkirakan produksi beras Juni–Agustus 2025 mencapai 8,09 juta ton naik hampir 14 persen dibanding tahun lalu. Secara nasional kita jelas surplus, tetapi harga eceran di banyak daerah bergerak naik. Situasi paradoks ini menandakan adanya kelemahan—atau kelalaian—dalam rantai pasok yang seharusnya dijaga Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas)," ujar Aras.

Padahal kata Aras bahwa Peraturan Bapanas Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Sistem Distribusi Pangan sudah diterbitkan 26 Juni 2025. 

Regulasi itu memerintahkan penguatan peran produsen, distributor, dan pengecer melalui sistem pelaporan digital untuk 12 komoditas strategis, termasuk beras, agar pasokan merata antar‑wilayah dan antar‑waktu. 

Ketika beleid setegas ini telah ada, kegagalan menerjemahkannya ke lapangan mesti dipertanyakan kepada Bapanas sebagai regulator dan Bulog sebagai eksekutor.

Pihak-pihak terkait kata Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) harus melakukan langkah strategis. 

Pertama, Bulog harus segera melepas stok cadangan pemerintah secara terukur, transparan, dan mengikuti titik‑titik harga konsumen, bukan kepentingan internal atau spekulan. Penumpukan beras di gudang saat produksi melimpah hanya menambah biaya penyimpanan, risiko kualitas, serta membuka ruang permainan harga oleh “mafia pangan” yang menahan barang agar harga naik.

Kedua, fungsi subtitusi antar‑daerah wajib digerakkan. Surplus di lumbung‑lumbung Jawa atau Sulsel tidak ada artinya jika defisit di wilayah timur atau kepulauan terluar dibiarkan. Dengan jaringan gudang dan armada yang dibiayai APBN, Bulog tak boleh berdalih “menunggu petunjuk.” Instrumen Cadangan Beras Pemerintah, SPHP, serta Gerakan Pangan Murah harus berjalan simultan sebelum harga memanas—bukan setelah. Keterlambatan menyalurkan stok adalah bentuk kegagalan early‑warning system.

Ketiga, Bapanas mesti menegakkan aturan barunya lewat dashboard distribusi real‑time. Teknologi pelacakan digital memungkinkan siapa pun terutama satgas pangan dan pemerintah daerah memantau pergerakan tonase beras dari gudang produsen sampai konsumen. Jika data menunjukkan anomali misal, stok menumpuk di satu gudang lebih dari dua pekan alarm otomatis wajib berbunyi dan inspeksi digelar. Tanpa penegakan, regulasi tinggal slogan.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah tidak boleh reaktif. Inflasi pangan kerap ditangani dengan operasi pasar dadakan ketika harga sudah telanjur naik. Paradigma ini harus dibalik: intervensi pra‑emptif saat harga mulai bergejolak satu‑dua persen saja. Koordinasi TPID di daerah perlu dikaitkan langsung dengan distribusi Bulog melalui dashboard Bapanas—bukan sekadar rapat koordinasi.

Kelima, transparansi harga dasar di tingkat petani juga penting. Surplus nasional hanya berarti jika petani tetap mendapat harga wajar. Bulog dan Kementerian Pertanian harus memastikan harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi pagar bawah, sedangkan HET menjadi pagar atas. Di antara dua pagar inilah Bulog memainkan keseimbangan, bukan “main‑main” demi selisih spekulatif.

Apabila lima langkah ini diabaikan, lonjakan harga beras akan terus berulang meski produksi berlebih. Masyarakatlah yang kembali menjadi korban, sementara para spekulan meraup untung. 

"Karenanya, saya mendesak Bulog dan Bapanas bertindak cepat, transparan, dan akuntabel. Surplus beras harus terasa sebagai surplus kesejahteraan, bukan surplus masalah." ujarnya. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved