In Memoriam Ustad Jafar, Intel Bahasa Arab dan 'Macan Kampus' Pesantren MAPK Ujungpandang
Dosen Pascasarjana UIN Alauddin itu juga mengabarkan, Ustadz Djafar meninggal di ruang perawatan di RS Tenriawaru Watampone, Tanete Riattang, Bone.
Oleh:
Thamzil Thahir
Santri Pesantren MAPK Ujungpandang 1990-1993 kini editor in chief at Tribun-Timur.com
TRIBUN-SULBAR.COM - SELEPAS Isya, Sabtu (29/6/2024) malam, kabar belasungkawan masuk di WhatsApp Group alumni Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Ujungpandang;
"Innalilahi wa innailaihi Raji'un...
Telah berpulang ke Rahmatullah Ustadz DJAFAR Setelah shalat Magrib...Mohon Doanya.. semoga Husnul Khatimah... Terima Kasih.
Pembawa kabar duka itu Dr H Muhsin Ahmad Dg Nai MAg, dosen senior angkatan pertama MAPK Ujungpandang (1988-1993).
Dosen Pascasarjana UIN Alauddin itu juga mengabarkan, Ustadz Djafar meninggal di ruang perawatan di RS Tenriawaru Watampone, Tanete Riattang, Bone.
Setelah ratusan ungkapan belasingkawa, hingga tengah malam, para santri menulis aneka pengalaman lucu, menegangkan, dan menyakitkan (masa itu) bersama Ustad Djafar.
Ustad Djafar meninggal dalam status sebagai guru, pendidik, dan suri teladan.
Terakhir dia tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Tarbiyah IAIN Bone, sekitar 120 km tenggara kota Makassar.
Almarhum meninggal di usia 69 tahun.
Beliau lahir di Pattiro, Sibulue, desa kecil berjarak 15 km selatan Watampone.
Ustadz Djafar adalah sebuah nama dan legenda di pesantren negeri Departemen Agama kala itu.
Nama itu merujuk ke persona Drs H Muh Jafar MA.
Sebelum jadi dosen tetap di IAIN Bone, almarhum pernah menjabat Kepala Kantor Kementerian Agama di Barru dan Enrekang.
Selama hampir enam tahun Ustad Djafar menjabat Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Urais) di Kemenag Kota Makassar, dan lebih satu dekade mengabdi jadi pembina utama di MAPK/MANPK Ujungpandang.
Bagi kami, angkatan I hingga X (1988-1998) di pesantren MAPK Ujungpandang, almarhum lebih dari sekadar guru mata pelajaran Bahasa Arab.
Beliau adalah pimpinan dan pembina pondok, sekaligus pengawas pagi-siang-malam, "allugahtul arabiayah" kampus MAPK, di kawasan eks Asrama Haji Ujungpandang, Jl Perintis Kemerdekaan Km 17, Daya.
Selama satu dekade, dia menegakkan wibawa asrama dan madrasah rasa pesantren rintisan Prof Dr H Munawir Sjadzali (1925 – 23 Juli 2004; Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan III dan IV (1978-1993).
Di angkatan dekade pertama MAPK Ujungpandang, Ustad Djafar adalah "momok menakutkan" bagi mereka yang malas berbahasa arab dan Inggris di kawasan kampus.
Tahun 1990, saat saya jadi santri baru di kampus itu, diberlakukan aturan " jazus lugah", intel bahasa.
Santri yang kedapatan berbahasa non Arab dan Inggris dikenakan denda, bersih-bersih asrama, kelas, hukuman cubit, bahkan jika terus berulang akan tinggal kelas, dan dikeluarkan dari sekolah.
Jazus dipilih bergilir dari santri-santri pilihan, dan melapor ke beberapq ustad pengawas, dan selanjutnya masuk ke meja Ustad Djafar.
Dan, Ustad Djafar adalah komandan utama jazuz lugah itu.
Jujur saya tak permah jadi jazuz lugah Arab, tapi beberapa kali jadi jazuz English Language.
Saat jadi santri baru, tiga angkatan senior kami, berbisik-bisik soal julukan Ustad Djafar; "Macan Kampus."
Nama alias ini, merujuk sosok penegak wibawa asrama.
Tegas, disiplin, jarang bicara, lebih banyak "menerkam".
Sebagai pembina utama kampus, tugas utamanya menegakkan aturan asrama.
Mulai ketepatan waktu jamaah, kehadiran pengajian ba'da Subuh, Magrib, Isya dan Ashar, hingga pelanggaran berat seperti
tinggalkan asrama, "rampez", ketiduran di waktu sholat subuh dan azar, hingga urusan pacar santri.
Rampez adalah istilah bagi santri perokok. Mereka yang kedapatan merokok, maka Ustad Djafar jadi tukang jagal, juri penghukum.
Kebetulan, kamar saya dan 5 teman lain diapit dua kamar pembina; Ustad Mujahid dan Ustad Djafar.
Bayangkan, betapa ngerinya berdampingan dengan kamar "Macan Kampus".
Pernah suatu hari, saat saya baru naik kelas II MAPK, tak sengaja kuintip Ustad Djafar geleng-geleng kepala, suatu sore, saat menemukan puntung rokok dan remah tembakau di kantong baju seorang santri.
Keesokan harinya, santri itu dipanggil ke ruangan guru, dan pulang dengan tangis. "Saya berhenti dulu ma'rampes".
Bagi kami di enam angkatan pertama MAPK, nyaris semua santri punya kenangan dan cerita bersama Ustad Djafar.
Di hari pertama jadi santri, Juli 1990, dua jam selepas Isya, saya sudah kedapatan jalan bersama beberapa senior dari almamater pesantren tsanawiyah DDI Mangkoso di jalan utama asrama.
Ustad Djafar mengendarai Yamaha RS tuas 1979. Malam itu, dia melihat kami berjalan dengan senior yang jarinya lagi mengapit rokok dan baranya.
Keesokan harinya, di kelas, saya dan dua teman seangkatan langsung diberi peringatan lisan.
Dan, 10 bulan kemudian, satu dari teman seperjalanan dan merokok bersama senior itu sudah angkat kopor, meninggalkan asrama MAPK.
Meski banyak cerita getir dan pengalaman dihukum Ustad Djafar, tak ada kebencian sedikit pun saat kami jadi almamater MAPK.
Rasa hormat, takzim dan cium tangan tetap kami haturkan saat bertemu, para ustad.
Tanggal 3 September 2000, adalah hari pernikahanku.
Itu sudah tujuh tahun setelah tamat MAPK. Saya begitu kaget, sebab saat akad nikah aku melihat sosok ustad Djafar di ruang utama rumah mertuaku.
Dia jadi penceramah walimatul nikahku. Ceramag Akad nikah itu, begitu menegangkan, sebab aku takut, Ustad Djafar mengungkit masa-masa dia jadi Macan Kampus MAPK di depan mertua dan tetamu undangan.
Hingga akhir ceramah dia hanya menotifikasi saya asalah salah satu santrinya di pesantren negeri terbaik di Indonesia.
Alhamdilillah tak ada satu ceritapun tentang kisah tiga tahun di MAPK.
Ternyata, Ustad Djafar adalah saudara sepupu dua kali dari istriku.
Dia diundang khusus ceramah oleh mertuaku, Dra Hj Bungawali, tantenya dari kampung Pattiro, Sibulue Bone. (*)
(thamzil thahir, santri Pesantren MAPK Ujungpandang 1990-1993. kini editor in chief at Tribun-Timur.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.