Selamat Jalan Kak Aswan Acsha
ASWANISME sebagai “Candu”
Ia memang aktifis yang tak berjarak dengan kadernya. Ia dikerumuni ketika ia hadir dihajatan PMII.
Menganalisa pola relasi seluruh komponen sosial dan negara dengan cermat.
Analisis itu ia tumpahkan di hadapan mahasiswa dan kaum papa.
Menariknya, kaum papa dan mahasiswa tak rumit mencernahnya.
Mengapa? sebab Kak Aswan mengatakan itu dengan kalimat-kalimat nyata dan bahasa realitas.
Dunia aktifisme digelutinya dengan ketekunan yang penuh tak jenuh walau dompetnya tak pernah penuh.
Pergelutannya itu kian menyata ketika 17 April 1999 beberapa pekan setelah ia menikah atau setahun usia reformasi, ia mendirikan sebuah LSM dengan akronim nama yang tak lazim; LAPAR (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat).
Mudah dibaca saat itu, kehadiran LAPAR adalah proses institusionalisasi dari pembacaan realitas kritis atas kenyataan-kenyataan berbangsa dan bernegara kita.
LAPAR lantas hadir menjadi sebuah LSM baru di zaman itu dipimpin langsung oleh Kak Aswan.
Namun uniknya, pasukan LAPAR diisi oleh anak-anak mahasiswa remaja.
Padahal, kak Aswan sendiri di masa itu bukan lagi remaja. Uniknya lagi, pasukan LAPAR dominan berlatar belakang santri. Dan Kak Aswan sendiri tak pernah nyantri di pondok pesantren.
Tetapi ia kadang berkelakar, bahwa dirinya adalah alumni pesantren kilat Padang Lampe UMI.
LAPAR ia kelolah sebagai bengkel atau batu asah anak muda yang ia percaya mampu melahirkan intelektual dan aktivis gerakan sosial (arus atas dan arus bawah).
Intelktual yang ia bayangkan adalah intelektual yang mampu menganalisa realitas dan aktivis penggerak sosial yang tajam membaca realitas.
Baginya, realitas adalah modal fundamental sekaligus daya dongkrak gerak transformasi sosial.
Dan mimpi itu terwujud beberapa tahun kemudian. Sejumlah pasukan LAPAR berfokus menjadi intelektual, sebagiannya bergerak di sektor penggerak sosial, walau belakangan beberapa diantaranya berkiprah di jalur politik formal.
Dalam konteks itu, Kak Aswan sukses memerankan diri sebagai “gembala itik” yang ulet.
LAPAR menetaskan telur-telur intelektual dan telur-telur aktivis sosial.
Sukses di LAPAR, ia lantas fokus di Polman, Sulbar. Di sana, ia mirintis sebuah LSM baru, dengan nama unik pula; LIAR (lembaga inspirasi dan advokasi rakyat).
Mirip LAPAR, LIAR diisi anak-anak muda energik dengan tradisi Mandar yang kental.
LIAR menjadi bengkel anak muda di sana. LIAR ini menjadi tanda lagi bila sosok Kak Aswan tak pernah menyudahi pergulatannya sebagai aktivis sosial, sebagai guru sosial, dan sebagai inspirator yang membangunkan anak muda dari kemalasannya dengan silet analisis kritisnya.
Dengan ini, anak-anak muda Polman mencandui kak Aswan dengan pemikiran-pemikirannya.
***
Kak Aswan adalah sosok istiqomah.
Ia tetap konsisten berdiri dijalur aktvisme sosial sepanjang waktu.
Padahal, aktivis semasanya telah lama hijrah ke dunia lain. Ada yang bergelut di dunia politik praktis, dunia kerja profesional dan sebagainya.
Tetapi Kak Aswan tetap di frekwensi semula; aktivis sosial. Ia geluti itu hingga sakit menggerogoti tubuhnya.
Bahkan, saat sakit pun ia tak pernah berhenti mendidik anak-anak muda berfikiri kritis.
Istiqomah dan pemikiran-pemikiran kritisnya nampaknya menjadi argumen dasar mengapa anak-anak muda era 1990-an hingga kini tetap “mencandui” Kak Aswan.
Ia bahkan seolah menjadi sistem gagasan atau pemikiran tersendiri yang dicandui bagi sejumlah anak muda NU di Sulsel dan Sulbar.
Yah, Aswanisme sebagai candu bagi anak-anak muda.
Kata “candu” itu tiba-tiba mengingatkan saya saat menghadiri pesta pernikahan Kak Aswan tahun 1999 silam di Bone.
Di sana, karib-kerabatnya menyapanya “Candu”. Rupanya, sapaan kampungnya, atau kira-kira nama kerennya di kampungnya ternyata Candu.
Sayangnya, kami tak pernah tahu sejarah sapaan itu.
Alfatihah untuk Kak Aswan. Insya Allah surga tempatnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.