Kolom
Perjalanan Spritual Nabi
Perjalanan Nabi ditempuh dalam dua perjalanan yakni horizontal dan perjalanan vertikal.
Oleh : Ilham Sopu
Kita telah memasuki bulan Rajab, bulan yang ketujuh dari kalender hijriah. Bulan yang sangat mulia, dalam satu riwayat diceritakan bahwa bulan rajab adalah bulan untuk menanam, bulan sya'ban bulan menyiram/memelihara dan bulan ramadhan adalah bulan untuk memetik.
Ketiga bulan ini tidak bisa dipisahkan dilihat dari riwayat di atas. Kualitas ibadah ramadhan itu sangat tergantung dari persiapan sejak bulan rajab, membiasakan menanam kebaikan di bulan rajab kemudian tetap konsisten menjaga di bulan sya'ban dan menikmatinya di bulan ramadhan dalam bentuk penguatan berpuasa dalam bulan suci ramadhan.
Di bulan rajab ini terdapat suatu peristiwa dalam sejarah Islam yang sangat spektakuler yakni peristiwa isra dan mi'raj, suatu peristiwa yang tidak mampu dijangkau dengan pendekatan akal, karena yang menjadi sutradara dalam peristiwa ini adalah Tuhan, Muhammad saw diperjalanankan dalam waktu yang sangat singkat disuatu malam guna akan diperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Perjalanan ini terdiri dari perjalanan isra yaitu perjalanan dari mesjid haram di Mekkah ke mesjid Aqsa di Palestina. Kemudian perjalanan mi'raj yaitu dari mesjid Aqsa menuju sidrah Al Muntaha di langit tujuh.
Perjalanan Nabi ditempuh dalam dua perjalanan yakni horizontal dan perjalanan vertikal.
Sebelum Nabi diperjalanankan oleh Tuhan, Nabi betul-betul mengalami suatu ujian yang berat.
Di tengah berbagai intimidasi yang dilakukan oleh kafir Quraisy, paman Nabi Abu Thalib yang merupakan benteng pertahanan Nabi dari berbagai serangan yang dilakukan kafir Quraisy meninggal, tidak lama kemudian sekitar tiga hari sepeninggal Abu Thalib, disusul istri tercinta Nabi yang juga banyak memberikan dorongan dan motivasi terhadap perjuangan Nabi dalam menyebarkan misi pesan keislaman juga meninggal.
Nabi sangat berduka dengan meninggalnya kedua pendamping yang sangat banyak membantu perjuangan Nabi, dalam misi di periode Makkah.
Mungkin itu juga menjadi bagian dari rencana Tuhan untuk memanggil Nabi menghadap kepadaNya dalam peristiwa isra mi'raj.
Tahun meninggalnya Paman dan isterinya dikenal dalam sejarah sebagai ammul hazni tahun duka cita.
Di sini Tuhan memerintahkan Jibril untuk menjemput Nabi dan diperjalankan dari Makkah ke Palestina kemudian lanjut Sidrah Al Muntaha.
Tujuan diperjalankannya Nabi adalah diperlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran Tuhan baik bumi maupun di langit.
Dalam perjalanan tersebut Nabi banyak berdialog dengan Jibril, banyak fenomena alam dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi terhadap umatnya, itu yang menghiasi dialog Nabi dengan malaikat Jibril.
Nabi dipertemukan juga para Nabi-nabi terdahulu mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Isa as, Nabi sempat shalat bersama dengan para Nabi tersebut, sekaligus juga berdialog bersama, dan banyak mendengarkan perjuangan atau kisah-kisah Nabi terdahulu dalam menyampaikan pesan-pesan dari Tuhan untuk umat-umat mereka, dalam bahasa moderennya, Nabi melakukan studi banding terhadap kinerja Nabi-nabi terdahulu dalam berinteraksi terhadap umatnya, dan tentu saja itu sebagai bekal Nabi untuk menghadapi umatnya ke depan.
Pengalaman Nabi bertemu dengan saudara-saudaranya Nabi terdahulu adalah pengalaman yang sangat berharga, karena mendapat informasi-informasi yang penting terhadap keberhasilan dan kegagalan mereka dalam berinteraksi dengan umatnya, ini adalah ilmu sosiologi yang didapat oleh rasul terhadap Nabi-nabi terdahulu.
Pengalaman yang sangat tinggi yang didapat Nabi dalam peristiwa isra mi'raj tersebut adalah sesampainya di langit yang ketujuh dan memasuki Sidrah Al Muntaha sebagai puncak dari peristiwa isra dan mi'raj yang dalam kitab klasik, Jibril pun tidak mampu menembus Sidrah Al Muntaha tersebut.
Muhammad Asad seorang penerjemah Al-Qur'an dan penafsir sebagaimana dikutip Cak Nur dalam salah satu bukunya, menerjemahkan sidrat al-Muntaha dengan "lote tree of the fartbest limit" (pohon lotus pada batas yang terjauh), pohon lotus dalam bahasa Indonesia disebut pohon teratai atau seroja.
Itu adalah makna harfiah dari perkataan sidrat al-Muntaha, yang lebih penting adalah makna simboliknya, sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli tafsir, bahwa sidrat al-Muntaha adalah lambang kebijakan tertinggi dan terakhir yang dapat dicapai seorang manusia pilihan, yang tidak teratasi lagi, karena tidak ada kebijakan yang lebih tinggi dari itu.
Pencapaian Nabi adalah pencapaian yang tertinggi yang dikaruniakan Tuhan kepada hamba atau makhluk-Nya. Jadi Nabi telah sampai ke Sidrat al-Muntaha berarti Nabi telah mencapai tingkat kedamaian, ketenangan, dan kemantapan bathin yang tertinggi yang tidak didapat oleh siapapun yang lain.
Karenanya pasca isra dan mi'raj Nabi semakin mantap dalam perjuangannya dan mencapai kemenangan demi kemenangan setelah hijrah ke Yastrib atau Madinah. Apapun makna dari sidrat al-Muntaha itu, dia adalah bagian dari misteri Tuhan, dan Nabi telah sampai kesana dan menyaksikan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Tuhan, itulah batas tertinggi ilmu manusia, selebihnya adalah rahasia Tuhan.
Itulah perjalanan Nabi, dalam bentuk isra dan mi'raj, Nabi banyak menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Tuhan dalam perjalanan tersebut, sebagai tujuan dari isra dan mi'raj, dan sekaligus Tuhan menghibur Nabi pasca ditinggalkannya kedua pendamping Nabi yang amat berjasa dalam perjuangan Nabi dalam menyampaikan kebenaran-kebenaran yang diterima dari Tuhan-Nya.
Bumi Pambusuang, 30 Januari 2023
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.